Mimbarrepublik.com, Jakarta-Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Indonesia mengungkap skandal besar terkait dugaan kecurangan pada fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) terafiliasi dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dugaan kecurangan ini mencapai nilai mencengangkan, yakni sekitar Rp 866 miliar pada tahun ini.
Kecurangan dalam klaim INA CBGs dan nonINACBGs di rumah sakit, serta Kapitasi dan nonKapitasi di fasilitas kesehatan tingkat pertama, bukanlah hal baru. Namun, dugaan sebesar Rp 866 miliar ini menyorot skala dan dampak serius kecurangan yang melibatkan banyak fasyankes.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, menekankan urgensi penanganan serius melibatkan pihak kepolisian. Timboel mendesak agar sanksi yang dijatuhkan tidak hanya sebatas pemutusan kerjasama dan pengembalian dana ke BPJS Kesehatan, tetapi juga mencakup pidana penjara untuk mencegah kecurangan di masa mendatang.
“Dana yang dikelola oleh BPJS Kesehatan merupakan amanah dan tanggungjawab negara,” ujar Timboel Siregar kepada wartawan pada Jumat (8/12/2023).
Pihak BPJS Kesehatan juga diharapkan untuk mengimplementasikan sistem pencegahan yang lebih sistemik dan melibatkan pasien JKN guna mengantisipasi serta meminimalisir potensi kecurangan di masa depan.
Perhatian kata Timboel juga tertuju pada seluruh fasyankes, diingatkan untuk bersikap jujur dan tidak terlibat dalam praktik fraud atau kecurangan. Adanya peningkatan nilai INA CNGS dan kapitasi menurut Permenkes no. 3 tahun 2023 seharusnya menjadi dorongan untuk menjunjung tinggi integritas dalam pelayanan kesehatan.
Menurutnya kecurangan yang dilakukan oleh fasyankes dapat merugikan peserta JKN dan bahkan mengancam keselamatan pasien, seperti yang terjadi dalam kasus kecurangan Readmisi. “Pasien yang seharusnya masih membutuhkan perawatan dipaksa pulang dalam kondisi belum layak, hanya untuk kemudian harus dirawat inap lagi dalam beberapa hari,”ujarnya.
Sebelumnya dugaan fraud atau kecurangan diungkap Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti. “Kalau totalnya kan Rp866 miliar ya tahun ini saja, jadi cukup besar,” kata Ghufron Mukti seperti ditulis kantor berita antara.
Ghufron menjelaskan kecurangan tersebut terdiri atas berbagai modus, seperti excessive usage atau penggunaan untuk hal yang tidak perlu dan phantom billing atau klaim palsu tanpa disertai tindakan atau pasien bodong. (*Wari)