Mimbarrepublik.com, Jakarta- Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani mengajak kelima parlemen negara MIKTA yang terdiri dari Meksiko, Indonesia, Korea selatan, Turki, dan Australia untuk berdiskusi mengenai perubahan iklim yang menjadi permasalahan mendesak untuk diselesaikan.
Ia juga mengajak kelima parlemen negara tersebut untuk menjadi inisiator dalam memobilisasi aksi-aksi global untuk mengatasi perubahan iklim.
“Kita harus memiliki sense of urgency, karena hal ini berkaitan dengan kelangsungan hidup umat manusia. Dampak perubahan iklim yang luas membuat seluruh aspek kehidupan akan terkena pengaruhnya,” ujar Puan dalam pidatonya ketika membuka sesi kedua dengan tema ‘Kebijakan Iklim yang Melampaui Janji dan Komitmen’ pada Forum MIKTA Speakers Consultation ke-9 di Jakarta, Senin (20/11/2023).
Diketahui, pada pertengahan tahun 2023, Sekretaris Jenderal PBB sudah memberi peringatan bahwa bumi telah memasuki era ‘global boiling’ bukan lagi sekedar ‘global warming’.
Negara MIKTA termasuk Indonesia, beberapa bulan terakhir ini juga mengalami fenomena cuaca ekstrem sebagai dampak super El Nino yang berakibat pada cuaca panas.
Masyarakat internasional telah menyepakati perlunya menjaga suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat celcius. Akan tetapi, berbagai ahli sampaikan bahwa target ini akan dilewati sebelum akhir dekade ini.
“Oleh karena itu, perubahan iklim perlu ditangani secara kolektif. Komunitas internasional memiliki peran yang penting dalam mengintensifkan upaya mitigasi iklim yang lebih ambisius. Hal ini termasuk dalam target mencapai nol emisi atau net-zero emission. Untuk mencapai hal ini diperlukan aksi nyata oleh masing-masing negara,” tegas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Indonesia sendiri telah menargetkan pencapaian energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 dan memiliki Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050, yang mencerminkan keseimbangan antara pengurangan emisi dan pembangunan ekonomi di jangka panjang.
Sebagai kontribusi, Indonesia berkomitmen untuk terus mengurangi laju deforestasi dengan melakukan beberapa upaya seperti moratorium izin pembukaan lahan yang melindungi 66 juta hektar hutan dan lahan gambut, penurunan tingkat deforestasi pada tahun 2020 mencapai titik yang terendah, dan menekan kebakaran hutan. Serta proyeksi rehabilitasi mangrove hingga 600.000 ha sampai dengan akhir 2024.
Dalam mengatasi perubahan iklim ini, diplomasi parlemen memainkan peran penting dalam memobilisasi berbagai aksi nyata di tingkat nasional. Parlemen diharapkan berada di garis terdepan demi menjawab seluruh permasalahan yang kompleks ini.
“Kita perlu realisasikan komitmen pendanaan iklim sebesar USD 100 miliar per tahun oleh negara-negara maju. Kita juga perlu mendorong realisasi dana loss and damage tersalurkan kepada negara-negara yang rentan. Kita perlu melipatduakan pendanaan adaptasi sebelum 2025. Dan kita perlu menjadikan sistem peringatan dini yang universal sebelum 2027,” jelas Mantan Menko PMK ini.
Selain itu, Parlemen juga harus mendorong kerja sama yang kuat antarparlemen dan pemangku kepentingan lainnya.
“Parlemen membangun sinergi dengan pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan agenda internasional mengenai perubahan iklim dan parlemen juga perlu memobilisasi pendanaan dari sektor swasta, kemitraan publik-swasta, atau melalui badan usaha milik negara,” urainya.
Selanjutnya Parlemen perlu menegaskan kembali komitmen penerapan prinsip tanggung jawab bersama namun berbeda (Common But Differentiated Responsibility/CBDRRC). Setiap negara memiliki kapasitas dan kemampuan yang berbeda dalam mengatasi perubahan iklim. Selain itu, diplomasi parlemen perlu mendorong agar negara-negara tidak menerapkan hambatan perdagangan untuk tujuan lingkungan hidup.
“Kita harus menggunakan pendekatan positif yaitu yang memberi insentif negara yang memajukan perlindungan lingkungan. Kita juga perlu upayakan investasi dan transisi energi bersih, dan transfer teknologi dan inovasi,” pintanya. (*Nur)