Mimbarrepublik.com, Jakarta- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) melakukan pelaporan atas dugaan pelanggaran etik dan perilaku Hakim Konstitusi atas nama Prof Dr Anwar Usman SH MH, Dr Manahan MP Sitompul SH MHum, Prof Dr Enny Nurbaningsih SH MHum, Dr Daniel Yusmic Pancastaki Foekh SH MH, Prof Dr M Guntur Hamzah SH MH kepada Dewan Etik Hakim Konstitusi.
Hal ini didasari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam ketentuan PMK 09/2006.
“Pertama kami melaporkan ini bukan berbasis insinuasi, asumsi, atau dugaan-dugaan tetapi kami merujuk pada hasil putusan para Hakim Konstitusi dari tujuh putusan yang ada. Karenanya laporan ini mudah untuk ditindaklanjuti dan diperiksa lebih lanjut,” ujar Julius Ibrani, Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI.
PBHI pada dasarnya melaporkan tiga aspek. Dalam aspek administrasi terkait perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Nomor 91/PUU-XXI/2023 sudah dicabut oleh kuasa hukum melalui Surat Bertanggal 29 September 2023 perihal Permohonan Pembatalan Pencabutan Perkara No. 91/PUU-XXI/2023
Mengenai Permohonan Uji Materi Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar 1945 serta terjadi kesalahan administrasi bahwa permohonanan yang telah ditarik tidak dapat diajukan kembali, meskipun belum ada putusan berupa ketetapan penarikan kembali yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kemudian secara formiil, lanjut Julius, PBHI menemukan bahwa legal standing pemohon dalam hal kerugian konstitusional dan pengalaman kepala daerah yang justru menggunakan profil Gibran Rakabuming sebagai Wali Kota Solo. Kemudian secara materiil atau substansi ada penambahan frasa yang tidak diajukan oleh pemohon dan ditambahkan pada amar putusan.
Terakhir soal perilaku Hakim Konstitusi yang membicarakan perkara melalui kesempatan kuliah umum memberikan komentar yang menyinggung soal batas usia capres-cawapres yang sedang dalam pengujian uji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan mengaitkan dan mencontohkan beberapa pemimpin muda di zaman Nabi Muhammad dan negara lain.
“Tujuan kami melaporkan untuk membersihkan Mahkamah Konstitusi dari intervensi politik dan keburukan-keburukan yang diakibatkan karena Hakim Konstitusi ialah cerminan dari konstitusi kita sendiri,” kata Julius.
Kemudian PBHI menilai materi yang diperiksa menyangkut indikator hukum dan demokrasi dalam konteks pemilu. Kalau banyak kejanggalan, di titik itu juga bisa berdampak hancurnya demokrasi.
Karena itu, penting, agar masyarakat memiliki pembelajaran tentang standar tertinggi konstitusi semestinya dan sebagai bentuk edukasi bagi publik utamanya terkait hak politik.
Terakhir, pihaknya hanya melaporkan 5 dari 9 hakim konstitusi untuk membedakan sikap tindak yang penting dan perlu dilakukan oleh hakim konstitusi untuk ke depan dalam memeriksa perkara tetap berpegang pada nilai-nilai Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 Tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi berkaitan dengan Prinsip Independensi, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, Prinsip Kecakapan dan Keseksamaan, dan Prinsip Kearifan dan Kebijaksanaan. (*Nur)