Mimbarrepublik.com, Jakarta– Rapat Paripurna DPR RI mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang–Undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi Undang-Undang (UU). Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Dalam rapat itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI sekaligus Ketua Panja RUU Kesehatan Emanuel Melkiades Laka Lena menyampaikan laporannya terkait pembahasan RUU Kesehatan.
Melki menyebut RUU tersebut telah mengalami proses pengembangan substansi yang ekstensif selama kurang lebih 3 (tiga) bulan terakhir.
“RUU ini merupakan regulasi penting yang komprehensif di bidang kesehatan sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah kesehatan yang ada dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia,” ungkap Melki.
Lebih lanjut, Melki meyampaikan beberapa isu krusial yang menyita perhatian masyarakat dan juga menjadi bagian serius di dalam pembahasan Panja.
Terkait pendanaan kesehatan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memprioritaskan anggaran Kesehatan untuk program dan kegiatan dalam penyusunan APBN dan APBD.
Pemerintah Pusat mengalokasikan anggaran kesehatan dari APBN, sedangkan pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan dari APBD sesuai dengan kebutuhan kesehatan program nasional maupun daerah yang dituangkan dalam rencana induk bidang Kesehatan (RIBK) dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja.
Menurutnya, pengalokasian anggaran kesehatan tersebut termasuk memperhatikan penyelesaian permasalahan Kesehatan berdasarkan beban penyakit atau epidemiologi.
Dalam penyelenggaraan pun upaya kesehatan, pelibatan tanggung jawab Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat harus diselaraskan.
“Pengaturan pelindungan tenaga medis dan tenaga kesehatan terutama yang bertugas di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan atau daerah tidak diminati dapat memperoleh tunjangan atau insentif khusus, jaminan keamanan, dukungan sarana prasarana dan alat kesehatan, kenaikan pangkat luar biasa dan pelindungan dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
Politisi dari Fraksi Partai Golkar ini juga memastikan, tenaga medis dan tenaga kesehatan saat menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar dan etika profesi, serta kebutuhan kesehatan pasien.
Kemudian, pengaturan mengenai pendidikan kedokteran, Konsil, Kolegium, Organisasi Profesi dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di dalam RUU Kesehatan ini sudah mengalami pembahasan yang cukup panjang dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dari berbagai sudut pandang.
Seperti dalam hal pendidikan kedokteran spesialis ke depan dapat diselenggarakan oleh rumah sakit terutama rumah sakit milik pemerintah.
Untuk memberikan kemudahan bagi pemberi layanan kesehatan, maka Surat Tanda Registrasi bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan akan diberlakukan seumur hidup serta kemudahan dan penyederhanaan dalam pengurusan ijin praktik.
“Pada akhirnya, pembahasan dan seluruh pengaturan di dalam RUU tentang Kesehatan ini dilakukan semata-mata demi memajukan kesehatan masyarakat Indonesia baik di masa normal maupun di masa krisis, menyediakan pelayanan kesehatan terbaik sehingga masyarakat memiliki kesempatan yang luas dalam mengakses layanan kesehatan berkualitas di negeri sendiri, serta tentunya dapat meningkatkan citra bangsa Indonesia di mata dunia internasional,” Tukas Melki.
Sementara itu, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS menjadi dua fraksi di DPR RI yang menolak menyetujui disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan. Hal tersebut terungkap dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-29 Masa Sidang V Tahun 2022-2023 yang disiarkan secara langsung dan terbuka oleh DPR RI.
Dalam penjelasan Fraksi Partai Demokrat yang dibacakan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi dalam rapat paripurna tersebut, setidaknya ada tiga alasan fraksinya menolak RUU Kesehatan tersebut untuk disahkan menjadi Undang-undang.
“Dalam proses pembahasan RUU Kesehatan, Kami mencermati adanya sejumlah persoalan mendasar dari RUU Kesehatan ini. Untuk itu izinkan kami menyampaikan beberapa catatan penting dari Fraksi Partai Demokrat,” ujar Dede.
Pertama, lanjut Dede, Kebijakan Pro Kesehatan yang telah ditetapkan minimal 5 persen dari APBN yang diamatkan dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pada pemerintahan Presiden Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono hendaknya dapat ditingkatkan jumlahnya.
Untuk itu Partai Demokrat telah mengusulkan dalam rapat Panja untuk memperjuangkan peningkatan anggaran kesehatan atau mandatory spending di luar gaji dan penerima bantuan iuran atau PBE namun tidak setujui.
“Pemerintah justru menyetujui mandatoris spending kesehatan dihapuskan. Hal tersebut semakin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat,” tambah Dede.
Padahal Fraksi Partai Demokrat menilai mandatory spending sektor kesehatan masih sangat diperlukan, dalam rangka menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat.
Dalam rangka mencapai tingkat indeks manusia atau IPM yang dalam RPJMN tahun 2020-2024 telah ditetapkan sasaran mencapai 75,54 persen, namun hingga Tahun 2022 tingkat IPM baru mencapai 72, 91 persen.
Senada dengan Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS menjadi fraksi lainnya yang menolak menyetujui disahkannya RUU Kesehatan tersebut.
Dalam pendapat fraksi yang dibacakan oleh anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani ini dikatakan bahwa RUU Kesehatan tersebut berpotensi menghilangkan lapangan kerja bagi tenaga medis dan kesehatan warga negara Indonesia (WNI).
Pasalnya, RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law mengatur pemanfaatan tenaga kesehatan dan tenaga medis warga negara asing (WNA).
“Hilangnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, baik itu karena masuknya tenaga kerja asing ataupun karena hilangnya aturan yang memperbolehkan sebuah pekerjaan, tentu tidak dapat diterima,” ujar Netty.
Menurut Netty, perlu ada perlindungan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan secara hukum. Baik untuk keselamatan, kesehatan, keamanan, serta termasuk harkat dan martabat tenaga medis dalam negeri.
Perlindungan ini sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan. Perlindungan dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perundungan terhadap mereka.
Tidak hanya itu, lanjut Netty, Fraksi PKS juga menyoroti mandatory spending yang dihapuskan. Padahal bahwa mandatory spending penting untuk menyediakan pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dengan ketersediaan jumlah anggaran yang cukup.
Selain itu juga agar ada jaminan anggaran kesehatan yang dapat teralokasi secara adil dalam rangka menjamin peningkatan derajat kesehatan masyarakat. (*Nur)