Mimbarrepublik.com, Jakarta– Toleransi memang bukan hal baru bagi bangsa kita. Keramahan yang menjadi karakter sejak zaman nenek moyang pun merupakan wujud dari jiwa toleransi. Namun faktanya sejak Reformasi bergulir tahun 1998 silam, intoleransi keagamaan meningkat dibanding pada era orde baru. Bahkan senantiasa muncul dan dimunculkan menjadi suatu perbincangan hangat, tak jarang menjadi polemik, tanpa ada solusi untuk mencegahnya. Boleh dikata, masalah toleransi antar umat beragama menjadi sesuatu yang langka terjadi di negeri berlandaskan Pancasila ini.
Wajah toleransi, yang sejak dulu didoktrinkan sebagai keunggulan bangsa Indonesia, seolah-olah semakin tipis-kalau tidak mau dikatakan telah sirna. Perbedaan, yang seharusnya menyatukan, justru sering memantik pertikaian. Selain itu, faktor SARA, suku, agama, ras, dan antar golongan selama masa reformasi muncul kembali dengan memanfaatkan suasana kebebasan yang disalahgunakan oleh orang atau golongan untuk kepentingannya sendiri-sendiri dan menurut tafsirannya masing-masing. Kebebasan telah dibajak dengan memanfaatkan sentimen-sentimen primordial yang berbau SARA, ditambah lagi oleh kenyataan bahwa struktur penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik ternyata berkembang sangat timpang, sehingga menyebabkan terjadinya fenomena konflik dan kasus-kasus kekerasan dan ketidakadilan.
Benarkah demikian?
Ungkapan dan anggapan bahwa toleransi menjadi sesuatu yang langka dicapai, sebenarnya tidak seluruhnya dapat di terima. Realitasnya dalam kehidupan masyarakat, soal toleransi masih terus berlangsung dan terjaga dengan baik, misalnya saja Awal Ramadan 1444 Hijriah ini pun kita menyaksikan toleransi yang tinggi antarumat beragama di Bali.
Tarawih pertama yang jatuh bertepatan dengan Hari Raya Nyepi tidak mengurangi sukacita maupun kekhusyukan beribadah umat Islam maupun umat Hindu. Muslim di Pulau Dewata tetap bisa bertawarih di masjid dengan sejumlah aturan yang merupakan kesepakatan Majelis Desa Adat (MDA) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bali. Aturan tersebut di antaranya tidak menggunakan kendaraan atau hanya dengan berjalan kaki, tidak menggunakan pengeras suara, dan hanya menggunakan penerangan yang terbatas.
Aturan itu bukan kemenangan satu pihak. Justru, ini merupakan jalan tengah bagi kemenangan bersama. Di satu sisi keutamaan berjemaah dapat tetap dicapai umat Islam, di sisi lain umat Hindu juga tidak terusik dalam menaati empat pantangan saat Nyepi. Tidak mengherankan jika pelaksanaan tarawih pertama di Bali berjalan baik, seperti halnya di wilayah-wilayah lain di Nusantara.
Namun ironisnya, toleransi yang berlangsung baik dan harmonis terjadi di Bali, justru kontras dengan peristiwa di Kulonprogo ketika sekelompok orang mewakili organisasi masyarakat meminta pengelola rumah doa Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus menutup serta membongkar patung Bunda Maria berukuran jumbo di Dusun Degolan, Bumirejo, Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Alasan mereka, patung tersebut mengganggu kekhusyukan ibadah puasa umat Islam. Padahal sejak dulu kondisi toleransi masyarakat Dusun Degolan, Bumirejo, Lendah, Kulonprogo Yogyakarta tersebut sangat baik. Bahkan sampai sekarang tidak ada sejarah kekerasan di daerah tersebut.
Apabila dicermati dari dua peristiwa tersebut, maka hal tersebut tidak terlepas dari pola komunikasi yang dapat menjadi pemicu terjadinya peristiwa toleransi maupun peristiwa intoleransi. Pola komunikasi bagaimana yang menjadi pemicu? Tentunya dalam mendorong munculnya suasana toleransi yang harmonis tidak terlepas adanya komunikasi melalui kemampuan untuk mengendalikan ego fanatisme terhadap suatu keyakinan agama. Sehingga bukan kepentingan agama yang dimunculkan dari hasil komunikasi dialogis tersebut, melainkan kepentingan bersama untuk menciptakan suatu kehidupan yang harmonis. Selain itu, ketika menampilkan ekspresi religius yang merupakan hak dan dilindungi konstitusi, dalam penerapannya sangat penting untuk memperhatikan aspek kesantunan sosial terhadap lingkungan sekitar. Inilah yang terjadi di Bali, sehingga lahirlah suasana harmonis dalam bertoleransi.
Nah, dalam peristiwa yang terjadi di Dusun Degolan, Bumirejo, Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, justru ketersumbatan komunikasi karena relasi kuasa terjelma dalam rasa sungkan dan hambatan komunikasi lainnya, mengapa terjadi ketersumbatan komunikasi? Sebab masing-masing pihak menampilkan ekspresi religius dengan mempertahankan egonya secara berlebihan terhadap keyakinan agamanya tanpa memperhatikan aspek kesatunan sosial. Hal inilah mengakibatkan tekanan kegelisahan warga lokal terkanalkan melalui akses-akses kepada kelompok-kelompok intoleran.
Munculnya intoleransi dan tindakan konservatif keagaamaan menjadi ancaman yang harus diantisipasi oleh pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Diperlukan kesungguhan elemen bangsa ini untuk mengurangi dan menghilangkan tindakan intoleleransi keagamaan, melalui tentunya menghadirkan peran Negara yang harus aktif melakukan tindakan komunikasi kepada semua pihak.
Arti dari tindakan komunikasi adalah negara melakukan komunikasi (dialog) dengan berbagai pihak untuk memperoleh sebuah kesepakatan tentang kondisi kebangsaan dan kehidupan keagamaan yang ramah terhadap perbedaan tindakan komunikasi negara harus dipahami sebagai upaya membangun kondisi yang harmoni, sejuk, damai dan untuk meneguhkan NKRI, kebhinekaan dan kemajemukan serta persatuan/kesatuan bangsa.
Tindakan komunikasi yang berbentuk dialog yang demokratis bertujuan menghasilkan sebuah kesepakatan. Sebuah kesepakatan dihasilkan, – diperoleh dalam sebuah diskusi yang berlangsung tanpa adanya dominasi, dengan memahami posisi dan perspektif masing-masing tindakan komunikasi yang dilakukan para pihak dalam upaya mewujudkan integrasi nasional.
Dalam skala kecil pada kehidupan masyarakat, tentunya diharapkan terbentuknya pola komunikasi yang efektif, persuasif, memiliki kemampuan untuk mengendalikan ego ekspresi religius berlebihan, memperhatikan kesantunan sosial dan tidak kalah pentingnya adalah semangat persaudaraan itu pula yang semestinya terus ada sepanjang Ramadan 1444 H karena di Bulan Suci ini memang bukan hanya untuk meningkatkan kesalehan ritual, tapi juga kesalehan sosial.
Untuk itulah tokoh maupun umat harus menyadari bahwa toleransi justru harus dikuatkan demi menghadapi tantangan zaman yang amat berat sekarang ini. Betul bahwa ada rambu-rambu yang harus dihormati antarumat beragama, tetapi diskusi tetaplah harus diutamakan ketimbang arogansi umat.
Untuk menghasilkan itu, maka diharapkan seluruh tokoh umat, tokoh agama baik pendakwah, cendekiawan, maupun pengusaha haruslah menjadi contoh pejuang persaudaraan di lingkup masing-masing. Ini bukan sekadar dalam ceramah dan petuah-petuah, melainkan senyatanya di keseharian. Terutama bagi umat Islam yang sedang menjalankan iabadah puasa. Selamat Menjalankan Ibadah Puasa selama di Bulan Suci Ramadhan 1444 H. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan keberkahan kehidupan yang rukun, harmonis dan damai dalam kehidupan beragama bagi bangsa Indonesia. Amin. (*Redaksi).