Mimbarrepublik.com, Jakarta- Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari kembali menegaskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) membawa dampak yang problematik. Pasalnya, hal itu berpotensi dijadikan instrumen politik bagi MPR untuk melakukan pemakzulan bagi presiden jika tidak sejalan dengan PPHN.
Hal itu dikatakan Qodari dalam merespon pernyataan Wakil Ketua MPR RI Yandri Susanto yang menyebut PPHN hanya membahas filosofi bernegara dan tidak membicarakan teknis soal impeachment bagi presiden.
“Maksud saya, begitu ada PPHN, itu membuka ruang bagi presiden petahana jika itu dianggap tidak sesuai dengan PPHN (bisa) di-impeachment. Ini kan gerakan politik ya,” ujar Qodari kepada wartawan, Sabtu 26/8/2023 di Jakarta
Menurut Qodari, PPHN akan menjadi alasan politis dari DPR dan MPR untuk menurunkan jabatan seorang presiden. Padahal, seharusnya, pemberhentian presiden bukan karena alasan politis melainkan karena pelanggaran hukum.
Hal itu terlepas apakah presiden melanggar PPHN atau tidak, kata Qodari, juga dapat menuai polemik di masyarakat, seberapa jauh presiden melanggar PPHN karena tidak ada ukuran baku yang dapat menjadi dasar rujukan.
“Jadi apakah memang betul-betul 100% bertentangan dengan PPHN atau tidak atau cuma 50% atau cuma 25%, itu kalau MPR berkehendak maka kemudian bisa dijadikan dasar gitu loh, di situ bahayanya PPHN. Itu sebetulnya karena bisa menimbulkan ruang bagaimana faktor politik untuk adanya impeachment gitu loh,” paparnya.
Dikatakan Qodari, meski ada pasal terkait impeactment yang sudah mengatur presiden dapat dilengserkan dengan alasan terbukti telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 7A UUD 1945, presiden juga berpotensi dapat diturunkan apabila terbukti melanggar haluan negara.
“Menurut saya sih, bisa saja ya (impeachment), karena kan di konstitusi kita walaupun ada pasal impeachment itu terpisah di situ dikatakan bertentangan dengan haluan negara,” bebernya.
Qodari kemudian,mengatakan multitafsirnya presiden melanggar PPHN tidak akan terjadi jika PPHN itu tidak atau dimasukkan dalam amendemen UUD 1945, karena presiden hanya menjalan visi misi sesuai janji kampanyenya.
“Beda dengan kalau enggak ada PPHN kalau enggak ada PPHN kan murni bahwa yang dijalankan itu adalah visi misi presiden terpilih begitu,” urainya.
Qodari juga menyinggung pernyataan Wakil Ketua MPR Yandri Susanto yang menyebut jika PPHN hanya membahas masalah filosofis saja.
Menurut Qodari, hal itu seolah PPHN tidak ada artinya. Sebab, jika tidak membahas sampai mendetail tentang pembangunan jangka panjang. maka hal itu dinilai PPHN tidak hadir sebagai konsep dasar pembangunan Indonesia secara berkesinambungan.
“Kalau PPHN-nya itu bersifat filosofis dan tidak cukup detail maka kemudian PPHN ini sebetulnya sih ada dan tiadanya sama saja ya begitu,” ucapnya.
Dikatakan Qodari, berbicara mengenai menjadi Indonesia maju dalam jangka panjang, membutuhkan rencana secara konkret yang konsisten dan kongkret sebagai strategi yang diterapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Jadi kalau kita bicara perencanaan pembangunan strategi menjadi Indonesia maju dalam jangka panjang yang membutuhkan sebuah konsistensi mau nggak mau itu harus berbicara pada tataran yang lebih teknis ya,” tuturnya.
“Misalnya seperti Pak Jokowi strateginya apa, satu membangun infrastruktur dua membangun hilirisasi yang ketiga digitalisasi, keempat pengembangan SDM dan seterusnya dan seterusnya,” imbuh Qodari.
Oleh karena itu, daripada memasukkan PPHN ke dalam pembahasan amendemen UUD 1945 yang dianggap problematik, Qodari secara tegas mengusulkan supaya presiden dapat terpilih selama 5 periode untuk pembangunan Indonesia berkesinambungan.
“Saya kemudian mengusulkan supaya konkret ya, presiden itu bisa dipilih untuk 5 kali masa jabatan gitu ya, bukan terus-menerus 5 kali masa jabatan tetapi tiap 5 tahun tahun tetap ada pemilu,” terangnya.
Qodari menjelaskan, masyarakat tidak perlu khawatir presiden akan terpilih atau mutlak berkuasa selama 5 periode, karena jika presiden tidak memiliki kinerja yang baik, diyakini tidak akan terpilih lagi pada periode selanjutnya.
“Kalau visi misi dan implementasi oleh presiden terpilih itu tidak disukai atau tidak didukung oleh masyarakat otomatis presiden itu enggak bisa 5 periode gitu ya jangankan 5 periode 2 periode pun juga dia enggak bisa karena dia akan dikalahkan ya tidak dipilih dan tidak didukung oleh masyarakat pada pilpres di akhir masa jabatannya yang pertama begitu,” ungkapnya.
“Dan dia akan diuji kembali dukungan masyarakatnya lewat pemilu bukan lewat impeactment atau pemberhentian oleh MPR jadi saya mengatakan PPHN itu problematik karena dia membuka ruang bagi impeachment atau tekanan-tekanan MPR terhadap presiden terpilih,” tuntasnya. (*Nur)