Mimbarrepublik.com, Jakarta- Melalui amandemen UUD 1945 telah melahirkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang bukan lagi sebagai lembaga negara tertinggi, tetapi sebagai lembaga negara yang berposisi setara dengan lembaga tinggi negara lainnya. Amandemen juga menjadikan pelaksanaan kedaulatan rakyat bukan lagi oleh MPR melainkan langsung di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Posisi demikian, tentunya menghasilkan transisi politik kedaulatan rakyat yang tidak lagi tampak menjadi wadah berhimpun perwakilan dari setiap utusan baik non parpol (utusan daerah, utusan golongan, utusan perempuan, dsb.) maupun dari partai politik. Demikian disampaikan pengamat sosial politik Faisal Saleh, kepada awak media, Sabtu, 18/3/2023 di Jakarta.
“Tentunya kondisi tersebut bagi MPR, transisi kedaulatan rakyat memberikan dampak pada karakter pelaksanaan tugas dan wewenangnya secara kelembagaan,” ungkap Faisal Saleh.
Menurut Faisal Saleh, secara kelembagaan, bentuk negara kesatuan menjadi sesuatu yang penting terkait keberadaan MPR. Konstruksi politik kedaulatan rakyat yang dinamis, menempatkan kelembagaan negara sejalan dengan konsep negara kesatuan yang dianut. Hal ini sesuai dengan prinsip kedaulatan yang disandangnya, melalui keberadaan supremasi parlemen pusat. Berdasarkan susunan keanggotaannya, MPR merupakan penjelmaan rakyat Indonesia, yang berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, disebutkan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat.
Kedaulatan dimaksud dilaksanakan hanya oleh satu badan atau lembaga negara, yaitu MPR. Itu sebabnya, (sebelum Perubahan UUD), Penjelasan UUD Negara RI, tentang Sistem Pemerintahan Negara disebutkan bahwa MPR merupakan penjelmaan rakyat Indonesia. Namun sekarang, dengan adanya posisi MPR bukan sebagai lembaga tertinggi, berimplikasi pada suatu lembaga yang tidak mencerminkan demokrasi ala Pancasila, terutama di Sila ke 4, ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’.
“MPR sesungguhnya adalah pengejawantahan dari Sila Ke 4 Pancasila, yakni tempat perwakilan komponen masyarakat untuk bermusyawarah sesuai prinsip prinsip demokrasi Pancasila yaitu bermusyawarah untuk negeri ini, berkumpul nya elit parpol dan elit non parpol yang mewakili kepentingan masyarakat Indonesia. Dari konsepsi tersebut, sesungguhnya, kita sudah diberi warisan ketatanegaraan yang arif dan bijaksana oleh pendiri bangsa maka wajib kita menjaganya dan melaksanakan secara konsisten,” ujar Faisal Saleh.
Oleh karena itu, lanjut Faisal Saleh, sudah saatnya para penentu negeri kembali memikirkan hal ini. Tidak hanya fokus pembangunan fisik saja tapi juga membahas ruh bangsa yang diwarisi oleh pendiri negeri dengan kembali memosisikan kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi, yang memiliki kewenangan menghasilkan suatu ketetapan sebagai salah satu sumber hukum. Jadi posisinya bukan hanya mempunyai kewenangan dalam mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional sebagai landasan haluan pengaturan pembangunan secara periodik atau GBHN, melainkan juga melahirkan keputusan untuk menetapkan dan melantik presiden dan wakil presiden hasil pilpres dalam Ketetapan MPR sebagai produk hukum yang tetap dan mengikat.
“Untuk itulah diperlukan inisiatif terobosan untuk mengembalikan MPR pada formulasi semula, mengembalikan kedudukan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara beranggotakan adalah politisi dan utusan golongan masyarakat berbagai agama, cendikiawan, budayawan, para sultan/raja, TNI/Polri, tokoh adat, yang mencerminkan kelompok masyarakat Indonesia, melalui langkah konvensi konstitusi. Mungkinkah ini bisa dilaksanakan?” pungkas Faisal Saleh. (*chy)