Mimbarrepublik.com, Yogyakarta – Polemik penutupan patung Bunda Maria di Padukuhan Degolan, Kalurahan Bumirejo, Lendah, Kulonprogo Rabu, 22/3/2023, lalu masih bergulir. Berita tentang darimana datangnya inisiatif menutup patung dengan terpal semakin simpang siur di media sosial. Kelompok ormas dan aksi intoleran lagi-lagi mengemuka dalam perstiwa itu.
Laporan Fact Finding dan Rekomendasi Kasus Patung Bunda Maria, Lendah, Kulonprogo yang dilakukan GEMAYOMI (Gerakan Masyarakat Gotong-Royong Melawan Intoleransi) menyebutkan adanya kunjungan Ormas sebanyak dua kali. Namun GEMAYOMI melihat kehadiran ormas tersebut hanya memanfaatkan celah kebuntuan komunikasi antara pengelola/pemilik taman doa dengan warga.
Artinya, menurut GEMAYOMI, bukan berarti lokal itu sendiri tidak bermasalah. Selalu ada konteks yang menyediakan medium potensial bagi kekerasan ormas. Meminimalkan celah yang ada akan semakin mempersempit peluang praktek intoleran.
“Kami melihat kehadiran ormas dalam kasus ini tidak lepas dari hambatan komunikasi antara warga yang terusik dengan pemilik taman doa dan berkepanjangannya upaya penyelesaian perijinan oleh pemilik. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh ormas untuk masuk ke dalam lapangan,” demikian disampaikan Lilik Krismantoro Putro, Sekjen GEMAYOMI melalui siaran pers pada Sabtu, 25/3/2023 kemarin.
Terkait adanya informasi yang menyebutkan peran aparat dalam kasus tersebut, Lilik menyoroti laporan dari aparat kepolisian di lapangan yang harusnya beredar di internal tersebut, justru menjadi konsumsi publik di media sosial. Akibatnya, polisi malah dianggap membiarkan atau justru menjadi pelaku penutupan terpal.
“Tidak ada istilah dalam laporan itu yang menunjukkan bahwa polisilah pelaku pemasangan. Pemelintiran bahwa polisi adalah pelaku pemasangan terjadi karena sumber informasi tersebut dari kepolisian, substansi berita sendiri tidak menunjuk pada polisi sebagai subyek pelaku,” lanjut Lilik dalam keterangan tertulisnya.
Ia menambahkan, kebocoran informasi dari kalangan kepolisian jelas menunjukkan kelemahan kerahasiaan informasi di internal kepolisian sebagai upaya sistematis untuk dengan sengaja menjadikan polisi sebagai sasaran amarah publik.
Padahal dalam temuan GEMAYOMI, kehadiran aparat saat pemasangan terpal oleh keluarga tidak lepas dari koordinasi dan komunikasi antara keluarga dengan aparat. Aparat hadir karena pemberitahuan keluarga untuk mengamankan proses pemasangan terpal mengingat gangguan keamanan yang terjadi sebelumnya.
Terkait dengan hal tersebut, dari pengalaman advokasi GEMAYOMI memperlihatkan ketika sebuah kasus menunjukkan viralitas nasional menyebabkan meningkatnya eskalasi konflik di tingkat lokal sehingga mempersulit upaya resolusi konflik dan dengan mudah menjelma menjadi eskalasi kekerasan.
Oleh karena itu, Lilik menyayangkan pihak-pihak yang menggunakan organisasi massa sebagai instrumen pemaksa. Menurutnya, kebuntuan komunikasi dapat dicegah melalui cara-cara yang lebih elegan dan tanpa ancaman.
Selain itu, GEMAYOMI juga mendorong pemilik dan pengelola menyelesaikan proses perijinan tempat doa sebagaimana peruntukannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Sebagai langkah solusinya, GEMAYOMI merekomendasikan meminta agar pemilik dan pengelola menata ulang taman doa termasuk kehadiran Patung Bunda Maria agar selaras dan peka pada situasi kebhinnekaan masyarakat sekitar serta membangun komunikasi yang lebih baik dan terbuka dengan warga sekitar. Selain itu juga agar berkomunikasi secara intensif dan mengikuti arahan otoritas keagamaan (dalam hal ini Gereja Katolik) yang berwenang.
Menutup keterangan tertulisnya, GEMAYOMI mengajak semua pihak terkait agar bersama-sama mengawal kasus ini hingga pada penyelesaiannya dan terus menggemakan semangat kebangsaan, keberagaman, toleransi, serta terus bersama-sama saling berkontribusi membangun hidup berbangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. (*nwn)