Mimbarrepublik.com, JakartaPerjuangan panjang warga Desa Mulyasari, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, mempertahankan hak atas tanah mereka seluas ± 9,3 hektar yang terletak di Blok Cijengkol, Desa Mulyasari, yang diklaim Perum Perhutani sebagai kawasan hutan negara, meski tidak selalu mulus di peradilan, nyatanya hingga kini belum juga surut.
Kegigihan warga terbukti dengan didaftarkannya gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) baru ke Pengadilan Negeri Karawang, dengan registrasi perkara nomor : 42/Pdt.G/2023/PN.Kwg tanggal 11 April 2023. Tidak hanya itu, untuk menguji putusan hakim MA dalam perkara melawan Perhutani ini, warga menempuh jalur permohonan eksaminasi publik kepada DPR dan DPD RI.
“Ini kita lakukan untuk memohon pendapat hukum publik dan pemeriksaan atas putusan MA di tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Karena kita merasa majelis hakim kasasi MA telah salah menerapkan hukum, dengan tidak mempertimbangkan alat-alat bukti yang diajukan Ara Cs dalam persidangan di PN Karawang,” kata Elyasa Budiyanto, kuasa hukum warga yang dijumpa di Jakarta, Rabu, 2/8/2023.
Dalam dokumen resume perkara tanah milik warga Desa Mulyasari, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, terungkap bahwa tanah seluas ± 93.455 M2 di Blok Cijengkol yang diklaim Perum Perhutani ini, masing-masing dimiliki : 1) Ara bin Dono berdasarkan C. No.2562 Persil 224 Luas ± 41.100 M2, SPPT No. 32.17.021.003.010-0245.0. 2) Aceng Lesmana yang memiliki tanah seluas ± 25.925 M2, berdasarkan C. No. 1657 Persil 224, SPPT No. 32.17.021.003.010-0248.0. 3) Adang bin Amir seluas ± 14.260 M2 berdasarkan C. No. 78 Persil 224, SPPT No. 32.17.021.003.010-0244.0. 4) M. juhdi seluas ± 12.270 M2, berdasarkan C No. 1565 persil 224, SPPT No. 32.17.021.003.010-0246.0.
“Jadi tanah tersebut sudah turun temurun sejak sebelum tahun 1960 sudah digarap oleh para keluarga pemilik (Ara cs), lalu tiba-tiba pada 2019 ketenangan warga terusik dengan kedatangan oknum Perum Perhutani yang mengatakan tanah tersebut masuk dalam kawasan hutan negara dan melarang Ara Cs bercocok tanam disitu,” ungkap Elyasa.
Dari klaim inilah kemudian Ara Cs mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap Perum Perhutani melalui Pengadilan Negeri (PN) Karawang, yang dalam putusan perkara bernomor : 67/Pdt.G/2021/PN.Kwg tanggal 10 November 2021, dalam amar putusannya mengabulkan gugatan Ara Cs untuk sebagian.
Terkait putusan PN Karawang ini, Perum Perhutani kemudian mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, Jawa Barat. Sebagaimana putusan perkara bernomor : 682/PDT/2021/PT.Bdg tanggal 27 Januari 2022, yang dalam amar putusannya menyatakan menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Karawang.
Kembali tak terima atas putusan ini, Perum Perhutani kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), yang kemudian menerbitkan putusan nomor : 1810.K/Pdt/2022 tanggal 8 Juni 2022, yang dalam amar putusannya membatalkan putusan PT Bandung yang menguatkan putusan PN Karawang.
Terhadap putusan MA ini, Elyasa mengungkap beberapa hal yang kurang dicermati Hakim Agung MA, sehingga diduga salah dalam menerapkan hukum, diantaranya ialah soal perbandingan bukti kepemilikan lahan antara yang dimiliki warga (Ara Cs) dengan Perum Perhutani yang sama-sama tidak memiliki sertifikat, kemudian soal dugaan kekeliruan objek tanah yang diklaim Perum Perhutani.
“Salah satu pertimbangan Hakim Agung MA waktu itu ialah soal bukti kepemilikan berupa sertifikat, menurutnya sesuai ketentuan pasal 32 ayat 1 PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyatakan bukti kuat hak atas tanah adalah sertifikat.
Sementara baik Ara Cs maupun Perum Perhutani tidak memiliki sertifikat atas objek tanah tersebut. Yang terungkap dan menjadi fakta hukum dalam persidangan di PN Karawang dan PT Bandung, ialah bahwa kepemilikan Ara Cs didasarkan pada bukti-bukti berupa Surat Pernyataan dan Pengakuan Hak Atas Tanah Darat Hak Milik Adat yang dikuasai secara turun temurun, bahkan sebelum tahun 1960, selain itu bukti lahan ini tidak pernah dijual dan tidak bersengketa dengan siapa pun termasuk Perum Perhutani. Sementara dasar dari klaim Perhutani atas lahan milik Ara Cs ini hanya Berita Acara Tata Batas (BATB) tahun 1967. Dari sini jelas, penguasaan lahan tersebut lebih dulu dilakukan pihak Ara Cs ketimbang Perum Perhutani,” ungkapnya.
Fakta hukum lainnya ialah lokasi yang diklaim Perum Perhutani justru berada di Blok Satem, Desa Mulyasari, Kecamatan Ciampel, Karawang. Jelas berbeda dengan lahan milik Ara Cs yang berada di Blok Cijengkol, Desa Mulyasari.
Terkait putusan MA ini, Ara Cs kemudian menempuh upaya hukum luar biasa dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Namun, upaya ini kandas setelah keluar putusan perkara nomor : 1365.PK/Pdt/2022, tanggal 30 Desember 2022, yang amar putusannya menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Ara Cs.
Namun, perjuangan mempertahankan hak ini tidak berhenti disini, Ara Cs kemudian mendaftarkan gugatan baru ke Pengadilan Negeri Karawang, yang tercatat dengan nomor perkara : 42/Pdt.G/2023/PN.Kwg tanggal 11 April 2023. Selain itu menempuh jalur permohonan eksaminasi publik kepada DPR dan DPD RI untuk meminta pendapat hukum dan pemeriksaan atas putusan perkara di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung RI bernomor : 1810.K/Pdt/2022 tanggal 8 Juni 2022, dan di tingkat Peninjauan Kembali (PK) sebagaimana putusan perkara nomor : 1365.PK/Pdt/2022, tanggal 30 Desember 2022.
“Permohonan eksaminasi ini adalah upaya hukum untuk mencari novum baru, sebagai dasar untuk melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK) ke dua ke Mahkamah Agung (MA),” ujar Elyasa.
Sementara proses hukum masih berlanjut, di lokasi pihak Ara Cs masih menguasai lahan, sedangkan Perum Perhutani hanya memasang plang pengumuman yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik pihaknya. (*Red)