Mimbarrepublik.com, Yogyakarta- Dalam momentum hari Maulid Nabi Muhammad SAW, ratusan masyarakat Yogyakarta memadati Masjid Gede Keraton Yogyakarta, Kamis (28/09/2023). Mereka berebut gunungan Grebeg Maulud atau Sekaten yang dibawa iring-iringan abdi dalem dari Keraton Yogyakarta.
“Grebeg Maulud sudah ada sejak Kesultanan Yogyakarta berdiri. Itu pengaruh dari Kerajaan Demak,” kata Ketua Umum Keluarga Alumni Sejarah UGM (Kasagama) Wahjudi Djaja kepada pers, Kamis 28/9/2023 di Yogyakarta
Ia menjelaskan pada waktu itu Sunan Kalijaga mencoba memperluas syiar agama Islam. Perluasan itu dilakukan dengan mengakomodasi budaya lokal.
“Jadi waktu itu Kerajaan Demak juga diadakan Grebeg Maulud. Itu syiar agama Islam dilakukan oleh para wali, terutama Sunan Kalijaga,” ujarnya.
Menurut Wahjudi, Grebeg Maulud telah dilakukan di Keraton Yogyakarta sejak Sri Sultan Hamengkubowono I. Karena prosesi Grebeg Maulud ini melewati keraton Yogyakarta.
“Kemudian gunungan itu didoakan di Masjid Gede. Lalu dibagikan kepada rakyat di sepanjang jalan itu,” ucapnya.
Wahjudi menyebut, pada saat ini terdapat tujuh gunungan Grebeg Maulud dengan endapat pengawalan dari prajurit keraton. Tujuh gunungan ini berupa hasil kekayaan bumi.
“Ini melambangkan kemakmuran masyarakat agraris perlu diangkat dan dibagikan kepada warga. Meskipun di beberapa tempat menjadi rebutan,” kata Wahjudi.
Ketujuh gunungan pun dibagikan dalam prosesi grebeg, yakni Gunungan Kakung, Gunungan Estri/Wadon, Gunungan Gepak, Gunungan Dharat, dan Gunungan Pawuhan. Gunungan dibawa ke Masjid Gede, Kepatihan dan Pakualaman.
Wahjudi menyampaikan, ada filosofi dibalik gunungan Grebeg Maulud.
“Dalam kaitan ini raja Yogyakarta mengajak masyarakat untuk bersyukur dan mendistribusikan hasil bumi kepada rakyatnya,” ucapnya. (*Red)