Mimbarrepublik.com, Jakarta- Terkuaknya satu persatu kasus proyek fiktif dan tertangkapnya manajemen perusahan BUMN seperti membuka kotak pandora dan mencairnya gunung es yang selama ini membeku, kasus yang terjadi banyak, ini mengindikasikan bahwa fungsi whistleblower tak berjalan di institusi tersebut,
Sehingga, tugas yang diamanatkan manajemen perusahaan BUMN untuk menjadi agen pembangunan tidak berjalan. Padahal, Menteri BUMN selalu menyuarakan mengenai core value AKHLAK, demikian disampaikan Yudo Purnomo pengamat kepada pers, Senin, 22/5/2023 di Jakarta.
“Tindak korupsi yang terjadi di perusahaan BUMN termasuk unik, apalagi BUMN Karya. Sebab sebenarnya tiap proyek mereka mayoritas terkait fisik pembangunan infrastruktur. Artinya produk yang mereka bangun kasat mata.”ungkap Yudi Purnomo.
Sehingga, lanjut Yudi, bila kemudian BUMN Karya bermain di proyek fiktif, padahal ada proses pengadaan barang dan jasa, ada pesertanya, panitianya, harga perkiraan barang, dokumen-dokumen administrasi, termasuk syarat-syarat pembayaran per termin hingga pelunasan disertai bukti pembangunan, Ketika terjadinya fiktif, menariknya pada BUMN Karya Waskita, ini dilakukan oleh direktur utamanya langsung.
“Artinya budaya anti korupsinya tidak berjalan, pengawasannya sangat lemah, dan whistleblower bungkam karena pelakunya atasan. Sehingga ketika menyangkut proyek yang terkait dengan atasan, lini bawahnya tidak berani bersuara (melaporkan),” kata Yudi.
Kemudian, lanjutnya, proyek fiktif BUMN Karya dia pastikan melibatkan banyak orang berbeda dan berantai, mulai dari proses perencanaan pengadaan hingga penerimaan barang dan jasa. Hal ini bisa terjadi ketika puncak manajemen perusahaannya terlibat.
Artinya, menurut Yudi, krisis perilaku yang terjadi BUMN ini perlu menjadi perhatian bagi penegak hukum, auditor, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), untuk mengawasi secara ketat menyusuri agar tidak lagi terjadi proyek-proyek fiktif.
Sebab selama ini korupsi terjadi dalam bentuk “memotek” dari dana yang dianggarkan atau barangnya ada tetapi kualitasnya dikurangi.
“Sedangkan yang terjadi ini, fisiknya tidak muncul tetapi uangnya keluar. Ini korupsi yang luar biasa. Ini terjadi karena manajemen tertinggi “bermain”,” kata Yudi.
Kasus korupsi terjadi, sambungnya, di saat dari sisi pejabat BUMN telah mendapatkan gaji yang besar, ternyata tidak mengurangi niat untuk korupsi.
Di sisi lain, beberapa perusahaan BUMN yang seringkali berutang dan tidak memiliki modal untuk membayarnya, mendapat suntikan dana dari pemerintah, meski ini merupakan kebijakan negara. Maka penegak hukum tetap harus mengawasi dengan ketat.
Bahkan Yudi mengkhawatirkan, Bila tidak ada korupsi, tentu dana pendapatan operasional perusahaan bisa untuk membayar utang, dan bila ternyata utang-utang muncul karena merajalelanya korupsi di perusahaan tersebut, maka untuk mencegahnya, ke depan ketika pemerintah/ pemegang saham mengangkat direksi ataupun komisaris BUMN adalah mereka yang berkomitmen untuk tidak korupsi, dan yang bisa bekerja keras untuk bisa menguntungkan BUMN untuk bisa membayar utang.
“Walaupun kita juga tahu perusahaan BUMN-BUMN ini salah satu kegiatannya adalah penugasan dari pemerintah. Bila BUMN ini tidak diciptakan budaya anti korupsi, kerjanya akan berat.”tukas Yudi.
Yudi juga mengungkapkan, bahwa sejauh ini langkah pemerintah sudah pada jalurnya untuk menyita harta/ aset para pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka, namun berbeda dari skema di dalam Rancangan Undang-undang Perampasan Aset yang belum disahkan hingga saat ini, yang lebih kepada kemampuan petugas berwajib untuk mengamankan aset pelaku yang statusnya masih terduga.
“Kalau saat ini, negara bisa menyita harta aset pelaku yang telah menjadi tersangka sebesar angka bukti yang ditemukan. Nanti bila ditemukan angka bukti baru lagi, baru bisa kembali dilakukan penyitaan.”pungkas Yudi. (*Kikel)