Mimbarrepublik.com, Jakarta- Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan gugatan uji materi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang UU Pemilu. Pada pokoknya, mereka yang berusia di bawah 40 tahun tapi pernah menjabat kepala daerah bisa menjadi calon presiden (Capres) atau calon wakil residen (Cawapres) di Pilpres 2024. Putusan MK ini pun memicu polemik dan menjadi bola panas.
Andi Darwis Rangreng, SH, MH menilai keputusan MK tersebut bersifat ganda.Sebab, di satu sisi MK menolak gugatan 3 pemohon lainnya yang ingin mengubah batas usia capres-cawapres kurang dari 40 tahun, dan bahkan putusan tersebut terindikasi putusan yang dikondisikan, putusan yang dikondisikan itu diduga untuk memuluskan jalankan Gibran putra mahkota putra sulung Presiden Jokowi untuk bisa menjadi cawapres mendampingi Bacapres Prabowo.
“Kenapa saya katakan bersifat ganda, di satu sisi MK itu sepakat bahwa usia capres/cawaprees itu open legal policy dan sepenuhnya kewenangan pembentuk undang-undang, tapi dalam perkara (nomor) 90 ini mahkamah konstitusi menambahkan frasa yang sebenarnya tidak mengukuhkan usia 40 tapi masih dibuka ruang di bawah usia 40 pun boleh, sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan kepala daerah baik bupati atau wali kota atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum (pemilu), sehingga aneh saya melihat, ada sisi keanehan daripada putusan mahkamah konstitusi ini,” ujar Andi Darwis Ranggreng, SH, MH pengacara publik kepada awak media, Jumat, 20/10/2023 di Jakarta
Menurut Andi dalam perkara ini, MK justru mengambil peran DPR dengan mengubah syarat umur capres-cawapres yang semestinya ini merupakan ranah kewenangan pembentuk UU. MK menjadi tidak konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya, selain itu putusan MK tersebut terbentur dengan putusan yang sudah terpratri pada putusan KPU tentang persyaratan Capres-Cawapres, sehingga dapat dikatakan putusan MK tersebut dengan peraturan KPU beda jukdis, karena putusan MK merupakan jawaban dari uji materil dari pemohon, sedangkan peraturan KPU tersebut sudah mutlak betul-betul disetujui oleh para stakeholder dan juga di sepakati oleh DPR maupun instansi terkait.
“Dengan demikian secara yuridis putusan MK tidak bisa diberlakukan, kalau toh bisa dipaksakan untuk dilaksanakan putusan tersebut, KPU harus melakukan perubahan peraturan yang mengacu pada Undang-Undang Pemilu, sedangkan untuk merubah Undang-Undang tersebut adalah kewenangan DPR, sedangkan saat ini, waktunya tidak memungkinkan merubah Undang-Undang tersebut, karena sudah mendekati pemilu.”tukas Andi Darwis Rangreng, SH, MH.
Lebih lanjut, Andi Darwis Rangreng mengatakan Untuk menjadi calon Presiden Republik Indonesia, seseorang harus memenuhi sejumlah syarat yang diatur dalam dalam UU Pemilu No. 7 Tahun 2017, Setelah terjadi perubahan makna pada syarat capres-cawapres ini, maka KPU harus segera memperbarui peraturan yang mengatur pemilihan kepala negara dan pemerintahan ini, KPU harus memperbaiki peraturan mereka dan mengonsultasikannya terlebih dulu dengan Komisi II DPR, tapi waktunya apakah masih dimungkinkan? Hal ini akan menjadi masalah serius yang bisa memicu terjadinya konflik.
“Fenomena putusan MK tentang batas usia capres-cawapres tersebut, bisa memicu suhu politik yang semakin memanas, dan bukan hanya itu, hal ini dapat berimpilkasi pada eksistensi marwarh Mahkamah Konstitusi Dipertaruhkan,”pungkas Andi Darwis Rangreng, SH, MH. (*Nur)