Mimbarrepublik.com, Jakarta- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto mengingatkan dampak dari kondisi deflasi ekonomi Indonesia. Apalagi deflasi ini terjadi selama dua bulan berturut-turut.
“Ada kerentanan di sini. Karena ini berarti pasar kurang bergairah,” kata Eko, saat berbincang bersama Pro3 RRI, Kamis (1/8/2024).
Eko menyampaikan, deflasi yang dialami ini mengindikasikan terjadinya perlambatan ekonomi. “Angka inflasi tidak boleh terlalu tinggi, tapi terjadinya deflasi juga berisiko,” ucapnya.
Kondisi deflasi ini, menurut Eko, dipicu oleh beberapa faktor. Salah satunya karena menurunnya permintaan, terutama pada sektor makanan, minuman, dan tembakau.
“Ini harus diwaspadai. Apakah turunnya permintaan ini disebabkan karena daya beli masyarakat yang juga turun?” kata Eko.
Eko menduga, turunnya permintaan ini disebabkan karena tingginya kebutuhan masyarakat di sektor pendidikan. Hal ini didukung dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut inflasi di sektor pendidikan pada bulan Juli meningkat.
“Di bulan Juli itu ada momen menyekolahkan anak. Bisa saja uang masyarakat banyak terserap kesana,” ucapnya.
“Kalau deflasi terjadi secara konsisten, ini akan berakibat pada konsumsi masyarakat,” ucap Eko. Untuk menjaga kondisi ekonomi agar tetap stabil, Eko menyarankan agar pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang dapat menurunkan daya beli masyarakat.
“Kemarin sempat ramai-ramai wacana asuransi kendaraan, iuran Tapera sampai kenaikan PPN. Ini membuat masyarakat menahan uang untuk belanja,” ucap Eko.
Seperti diketahui, BPS mencatat deflasi sebesar 0,18 persen sepanjang Juli 2024 dibanding dengan bulan sebelumnya (month to month). Deflasi pada Juli ini lebih dalam dari bulan Juni lalu yang mencapai minus 0,08 persen.
Kelompok penyumbang deflasi terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau. Penurunan harga bahan pangan seperti bawang merah, tomat, daging ayam ras, dan telor ayam ras disebut menjadi penopang terjadinya deflasi. (*Nurhadi)