Mimbarrepublik.com, Jakarta- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap dugaan pelanggaran HAM pada peristiwa bentrokan warga dengan polisi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Terkait dengan peristiwa tersebut, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Saurlin P. Siagian mengatakan terdapat dua kali penahanan warga, yakni saat 8 orang ditangkap pada peristiwa 7 September dan 34 orang ditangkap pada 11 September.
“Saya kira itu sudah menunjukkan indikasi yang kuat terjadi pelanggaran hak. tetapi tentu kami perlu dalami fakta-faktanya, sehingga kami bisa membuat suatu kesimpulan terkait gradasi pelanggaran HAM yang ada. Intinya kita perlu dalami. Tapi indikasi kuat saya kira ada,” ujar Saurlin di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (22/9).
Sementara itu, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mengungkap enam dugaan pelanggaran HAM terkait peristiwa 7 September.
“Pertama, hak atas rasa aman dan bebas dari intimidasi. Ada penggunaan kekuatan berlebihan. Ada 1.000 anggota aparat. Kemudian juga penggunaan gas air mata yang tidak terukur sehingga menyebabkan korban, itu harus diakui itu ada. Jadi ada pelanggaran hak atas rasa aman, bebas dari intimidasi,” kata Uli.
Hak tersebut, kata Uli, dijamin oleh Undang-undang HAM dan Perkap Kepolisian Nomor 1 tahun 2009. Uli menyebut aparat juga dilarang melakukan kekerasan saat bertugas, kecuali untuk mencegah kejahatan.
“Kedua, hak untuk memperoleh keadilan. Ada pembatasan akses terhadap bantuan hukum kepada 8 tersangka yang sudah dibebaskan ketika proses penyelidikan dan penyidikan. Dan itu kami mendapatkan laporan juga dari masyarakat dan kuasa hukumnya,” ujarnya.
Hak ketiga yang diduga dilanggar adalah hak atas tempat tinggal yang layak. Hal ini berkaitan dengan rencana relokasi. Uli menjelaskan rencana relokasi itu berdampak secara langsung terhadap tempat tinggal, terutama terhadap Perkampungan Melayu Kuno di Pulau Rempang.
“Upaya relokasi ke lokasi baru pada dasarnya tidak hanya mencederai hak atas rasa aman, namun juga mencabut hak atas tempat tinggal yang layak,” ucap Uli.
Uli menjelaskan terdapat prinsip-prinsip yang sudah Komnas HAM tegaskan terkait relokasi. Hal itu terdapat pada standar dan norma peraturan hak atas tempat tingggal yang layak.
Ia menyebut standar-standar tersebut harus dipenuhi sebelum melakukan relokasi, mulai dari partisipasi bermakna, melakukan pendekatan buttom-up atau dari bawah ke atas alias mendengarkan aspirasi masyarakat.
Kendati demikian, Uli menyebut pendekatan yang sekarang terjadi adalah pendekatan dari atas ke bawah. Hal itu telah dikonfirmasi oleh Komnas HAM.
Uli menyebut pihaknya telah menemukan beberapa saksi-saksi yang menyatakan mereka tidak pernah didengar oleh BP Batam dan pendekatannya hanya dari atas saja, yakni dari aparat di tingkat kelurahan sampai kecamatan.
“Kemudian, hak anak, perlindungan anak. Ada siswa SDN 24 Galang dan SMP yang terdampak gas air mata pada peristiwa 7 September. Ini juga secara visual sudah ada video-videonya. Dan kami sudah mewawancarai di SD 24 Galang dan SMPN 22 Galang,” kata dia.
Uli juga menyinggung upaya pengosongan fasilitas kesehatan yang terjadi di Rempang.
“Hak atas kesehatan. Upaya pengosongan puskemas dan pembebas tugasan tenaga kesehatan di Pulau Rempang. Kami sudah menemui saksi-saksinya dan memang terkonfirmasi ada upaya pengosongan puskesmas di Pulau Rempang dan pemindah tugasan tenaga kesehatan di Pulau Rempang, sehingga fasilitas kesehatan tidak bisa berfungsi maksimal. Ke depannya mungkin juga fasilitas kesehatan akan dipindahkan, tapi ini butuh pendalaman bagi kami,” jelas dia.
“Keenam, terkait dengan bisnis dan HAM. PSN ini akan berdampak sangat buruk bagi masyarakat di Pulau Rempang terutama masyarakat adat Melayu. Untuk itu diperlukan kewajiban dan tangung jawab masing-masing pihak sebagai upaya perlindungan pemenuhan HAM. Mungkin itu yang bisa kami identifkasikan ya, dugaan pelanggaran HAM,” tandasnya. (*Wari)