Mimbarrepublik.com, Jakarta-Sedikitnya 19 korban tewas, puluhan luka-luka, dan ratusan warga mengungsi karena kediaman mereka di sekitar Jalan Tanah Merah Bawah RT 12 RW 09, Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, ludes dilalap api. Penyebab kebakaran diduga gangguan teknis saat pengisian bahan bakar Pertamax sehingga menimbulkan tekanan berlebih yang mengakibatkan depo terbakar.
Kita tentu ikut prihatin dan menyatakan belasungkawa atas jatuhnya korban jiwa kebakaran tersebut. Namun, rasa prihatin dan duka mendalam saja tidak cukup dalam menyikapi peristiwa yang memilukan itu. Kebakaran itu mestinya sudah bisa diantisipasi PT Pertamina (Persero). Pasalnya, kebakaran di Depo Plumpang bukan kali pertama. Pada 2009, Depo Plumpang pernah mengalami kebakaran. Saat itu satu petugas keamanan Pertamina tewas.
Dua hal yang harus diperbaiki dari insiden kebakaran Depo Plumpang pada Jumat malam itu. Pertama, mengevaluasi sekaligus menginvestigasi kenapa peristiwa kebakaran itu terjadi, apakah disebabkan technical error, human error, atau faktor alam karena sambaran petir, misalnya. Kedua, harus diungkap ke publik siapa yang harus bertanggung jawab atas kebakaran tersebut. Tim investigasi kebakaran harus bekerja secara independen, akuntabel, dan transparan.
Sebuah pertanyaan, akankah terjadi lagi pada depo lainnya pasca meledak dan terbakarnya Depo Pertamina Plumpang yang berdampak sengsara bagi 740 warga sekitar? Pertanyaan ini layak kita lontarkan sejalan dengan fakta ledakan Depo Petamina di sejumlah lokasi.
Sejak Ahok menjabat Komisaris Utama (Komut) Pertamina per November 2019, tercatat dalam tiga tahun terakhir, sejumlah fasilitas milik Pertamina terbakar. April 2020, Depo Pertamina Cepu meledak. Setahun kemudian, tepatnya Maret 2021, Depo Balongan juga meledak. Cukup dahsyat. Dalam tahun 2021 dua ledakan terjadi di Depo Cilacap pada Juni dan November. Depo Pertamina Balikpapan juga mengalami dua ledakan pada Maret dan Mei 2022. Terbaru dan masih segar dalam ingatan. 3 Maret lalu, ledakan diikuti kebakaran hebat terjadi di Depo Plumpang, Jakarta Utara, sebagai distributor BBM untuk wilayah Jabodetabek.
Serangkaian insiden kebakaran pada objek vital nasional itu jangan lagi terulang atau setidaknya diminimalkan karena menimbulkan kerugian yang tak sedikit, baik materiil maupun korban jiwa.
Terkait dengan kebakaran Depo Plumpang, perbaikan yang harus dilakukan ialah pembuatan zona penyangga antara depo dan permukiman warga, terutama di sisi Utara. Bahkan, tembok rumah warga menempel dengan tembok pembatas depo. Pembuatan kawasan buffer zone sempat menjadi isu hangat pascakebakaran Depo Plumpang pada 2009. Namun, isu tersebut tak ada juntrungannya hingga Depo Plumpang terbakar lagi, pembuatan kawasan penyangga sangat penting dilakukan sekaligus merelokasi ribuan warga yang bermukim di wilayah itu.
Merelokasi warga ialah pilihan yang paling realistis ketimbang merelokasi depo yang berdiri sejak 1972. Merelokasi depo tentu saja membutuhkan biaya yang sangat besar. Namun demikian, merelokasi warga Tanah Merah juga pilihan yang sulit karena rawan dipolitisasi menjelang Pemilu 2024. Alhasil, hanya keberanian politik pemerintahlah yang bisa merelokasi warga yang tinggal di lahan rawan risiko itu.
Tapi, terjadinya beberapa kali ledakan itu juga menggambarkan tiadanya review pasca peristiwa. Hal ini mengundang tanya lebih lanjut, apakah sengaja dibiarkan? Jika arahnya demikian, lalu, apa tujuan dibalik pembiaran itu? Merancang alih penguasaan Pertamina dari BUMN ke privatisasi? Jawabannya, ‘Mengapa tidak?’
Kini, muncul pertanyaan, salahkah privatisasi Pertamina? Untuk menjawabnya, terdapat dua pandangan yang sangat kontras. Dalam perspektif bisnis, privatisasi Pertamina sangat ditunggu kalangan investor. Mengapa? Karena sektor BBM merupakan bisnis strategis yang sangat prospektif. Sebagai ilustrasi faktual, menurut catatan Handbook of Energy and Economics Statistic of Indonesia 2021, jumlah konsumsi BBM Indonesia mencapai 430 juta kiloliter per tahun, sedangkan tingkat produksinya hanya 240,37 juta kiloliter per tahun. Maka, dapat dikatakan peluang bisnis di sektor BBM sungguh fantastik. Tapi mencermati sejumlah ledakan dan kebakaran sejumlah depo Pertamina, apakah memang dalam kerangka menciptakan rekayasa bisnis dan investasi?
Sekali lagi, dalam perspektif bisnis, menciptakan peluang bisnis dan investasi yang dinilai wajar.
Dari sinilah muncul praduga depo Pertamina mana lagi yang siap diledakkan dan atau dibakar? Namun, bagaimana dari pandangan kepentingan nasional yang jelas-jelas punya landasan konstitusi? Dalam perspektif nasionalisme dan konstitusi, rekayasa bisnis seputar BBM dalam sejuta manuver tidak dibenarkan. Secara ekstrim, dugaan rekayasa itu menabrak konstitusi. Landasannya? BBM merupakan kebutuhan pokok bagi setiap warga negara. Di sisi lain, seluruh kekayaan yang ada di dalam perut bumi dan yang ada di atasnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD 1945).
Terlepas dari adanya dugaan rekayasa bisnis BBM yang bisa menguntungkan pihak-pihak tertentu baik pihak swasta dan pihak asing, akan tetapi jika mengacu pada pandangan mengenai Pancasila & UUD 1945. Maka sudah sepatutnya kepentingan kemanusiaanlah yang berada di atas kepentingan bisnis, maupun kepentingan politik. Pertimbangan kemanusiaan harus menjadi prioritas dalam pengelolaan bisnis BBM, termasuk memprioritaskan keselamatan bagi masyarakat yang berada di lokasi Depo Pertamina dimanapun berada. Bukan hanya tentang pengelolaan bisnis BBM yang hanya memikirkan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi kepentingan kekuasaan maupun kepentingan pembisnis domestik atau asing, melainkan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat. (*red)