Mimbarrepublik.com, Jakarta– Salah satu lokasi yang sudah terkenal sejak puluhan tahun lalu adalah pedagang makanan khas Minang yang ada di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Tepatnya kalau dari Senen menuju Salemba, berada di sisi kiri jalan. Bahkan saat ini kawasan tersebut tidak lagi terkesan semrawut khas kaki lima, tapi lebih tertib dan nyaman. Kawasan itu sekarang diberi nama keren “Food Street Kramat”.
Namun yang jadi permasalahan, adalah adanya kebijakan Pemprov DKI Jakarta, yang terkesan tidak tegas dan diskriminatif. Di satu sisi Pemprov DKI Jakarta melakukan pembongkaran lapak PKL yang berdagang di atas trotoar dengan alasan untuk melanggar Peraturan Daerah no.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
“Ketika, kita melihat di sepanjang Jl. Kramat Raya di kawasan Senen, nampak para pedagang dibiarkan berjualan di atas trotoar. Padahal trotoar itu bukan untuk berdagang. Itu fasiltas untuk pejalan kaki. Pejalan kaki yang melintasi jalan itu sangat terganggu,”ungkap Amir Basman Generasi Milineal Muslim Berantas Korupsi kepada awak media, Jum’at, 10/3/2023 di Gedung DPRD DKI Jakarta.
Padahal, lanjut Amir Basman, Mahkamah Agung telah menyatakan, kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang memanfaatkan trotoar sebagai sarana berjualan pedagang kaki lima (PKL) melanggar undang-undang. Kebijakan Pemprov dalam memfasilitasi PKL itu sebetulnya telah tertuang pada Pasal 25 ayat 1 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Namun, Mahkamah Agung menyatakan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 127 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan bahwa jalan hanya bisa ditutup karena alasan kegiatan keagamaan, kegiatan kenegaraan, kegiatan olahraga, dan kegiatan budaya.
“Bahwa dari sisi moral maupun hukum agama apapun yang menyebutkan mengambil sebagian dari trotoar, membangun di atasnya, sehingga diikutkan menjadi hak milik, atau digunakan seperti milik sendiri, perbuatan seperti itu tidak boleh. Karena hal itu termasuk mengambil lahan secara dzolim yang bukan menjadi haknya,” tukas Amir Basman.
Amir Basman juga mengungkapkan bahwa keberadaan sebanyak 28 pedagang yang menjajakan dagangannya di atas trotoar tersebut sangat mengganggu keberadaan fungsi jalan. Akibatnya dikawasan itu terjadi kemacetan lalu lintas, dan mengganggu pengguna jalan lainnya. Trotoar dibangun juga utamanya adalah untuk pejalan kaki, bukan untuk menampung PKL.
Kondisi tersebut terindikasi melanggar UU 38/2004 tentang Jalan, terutama pada pasal 63, yang berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Bukan hanya itu, lanjut Amir Basman, dirinya juga sangat prihatin, bahwa keberadaan 28 pedagang yang menjajakan dagangannya di atas trotoar di Kawasan Jalan Kramat Raya itu memiliki omzet rata-rata juta-an rupiah per hari yang dikelola oleh Sudin UMKM Kota Adm Jakarta Pusat. Ini harusnya menjadi menjadi salah satu sumber Penghasilan Asli Daerah Provinsi DKI Jakarta. Tapi realitasnya, uang sewa para pedagang itu tidak jelas masuknya kemana dan siapa saja yang menikmati uang itu. Kami menduga ada aroma korupsi dalam pengelolaan penerimaan uang dari pedagang.
“Karena itu, kami bakal melaporkan masalah ini ke BPK agar dilakukan audit terhadap penerimaan Pemprov DKI Jakarta dari hasil penataan dan pengelolaan para pedagang kaki Lima di kawasan Senen tersebut. Kami juga melaporkan ke KPK karena ada dugaan korupsi terkait dana pengelolaan kawasan itu yang diduga mengabaikan peraturan dengan dilegitimasi oleh adanya SK Walikota Nomor: 69 Tahun 2021 tentang perubahan kedua atas keputusan Walikota adm Jakarta Pusat No. 107 tahun 2020 tentang Lokasi Sementara Usaha Mikro atau/ Pedagang Kaki Lima di Wilayah Adm. Jakarta Pusat,” pungkas Amir Basman.