Mimbarrepublik.com, Jakarta- Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan, menilai keberadaan ‘orang dalam’ dalam sistem politik dan kehidupan bernegara ibarat benalu. ‘Orang dalam’ (ordal) akan mematikan meritokrasi dengan tidak memberikan kesamaan dan kesetaraan.
“Orang dalam itu benalu yang bisa membunuh meritokrasi. Meritokrasi tidak mengenal orang dalam atau orang luar. Ia tegak lurus dengan menempatkan kapasitas, kualitas, kapabilitas, dan integritas sebagai standar baku untuk terbangunnya sistem dalam beragam ranahnya, terlebih dalam sistem demokrasi,” terangnya.
“Meritokrasi tegak apabila demokrasi betul-betul menempatkan equality sebagai pijakannya. Orang dalam menyebabkan equality mati,” tambahnya.
Selain itu, salah satu dampak buruk dari kuatnya ‘orang dalam’ dalam sistem politik adalah maraknya kasus korupsi.
“Karena orang dalam itu bentuk deviasi dari sistem yang seharusnya, sebagaimana korupsi bentuk penyimpangan dari mekanisme yang seharusnya. Mereka adalah sisi gelap birokrasi,” tegasnya.
Senada, peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz menilai nepotisme dan keberadaan ‘orang dalam’ akan mengganggu demokrasi.
“Tentu dalam demokrasi semua memiliki kesempatan yang setara. Ini tentu harus jadi nilai yang dipegang tiap pejabat publik sebagai “forbearance” atau penahan nafsu dalam menjaga demokrasi. Termasuk juga nepotisme dan fenomena ordal,” terang Kahfi.
Menurutnya, Kendati tidak ada peraturan rigid soal orang dalam, nilai demokrasi harus tetap dipegang teguh, terutama memegang semangat meritokrasi. Keberadaan ordal juga menjadi rintangan dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Bila ada nepotisme dalam rekrutmen politik, apalagi sampai memperalat hukum, maka muncul tindakan favoritisme yg berujun pada tindakan nepotis. Ini juga akan jd rintangan bagi upaya pemberantasan korupsi. Sebab, tindakan korupsi mengikut dengannya juga kolusi dan nepotisme. Ini juga jadi alasan utama mengapa reformasi menghendaki hilangnya KKN,” tukasnya.
Ordal menjadi topik pembahasan panas dalam debat calon presiden. Yakni terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres-cawapres yang menjadi jalan mulus bagi Gibran Rakabuming anak Presiden Jokowi maju sebagai cawapres.
Hal senada juga dikatakan Ketua Indonesia Memanggil (IM57+) Praswad Nugraha mengatakan praktek orang dalam sudah menjadi rahasia umum dan merusak demokrasi.
“Ini faktor utama yang merusak demokrasi dan penegakan hukum, mereka kerap kali menjadi negosiator dalam tawar menawar komoditas yang bernama kewenangan dan kekuasaan,” ujar Praswad.
Hal ini diperburuk dengan melemahnya lembaga pengawas hukum, HAM dan anti korupsi yaitu KPK. Seperti diketahui, Ketua KPK Firli Bahuri ditangkap karena dugaan pemerasan. Praswad menilai KPK harus diperkuat kembali. Presiden bisa mengeluarkan Perppu UU KPK agar kembali ke UU 30 Tahun 2002.
Sehingga KPK bisa menjadi lembaga penegak hukum yang independen kembali. Kemudian bahasan Hukum dan Ham, serta pemberantasan korupsi hanya dianggap materi debat semata.
“Saat kampanye, isu pemberantasan korupsi dan penguatan KPK hanya menjadi barang dagangan dan pemanis pencitraan dari para kandidat,” jelas Praswad.
Namun dia masih berharap para paslon memiliki komitmen yang kuat untuk pemberantasan korupsi.
“ Semoga pemilu 2024 ini kita benar-benar bisa menghasilkan kandidat yang benar-benar komit dalam pemberantasan korupsi,” tandas Praswad. (*Nur)