Mimbarrepublik.com, Jakarta- Berbagai pihak menilai pengaturan produk tembakau seharusnya terpisah secara mandiri. Sehingga, tidak digabung dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang sedang disusun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Pakar Hukum dari Universitas Trisakti Ali Ridho mengatakan bunyi pasal 152 pada UU Kesehatan sudah secara jelas memerintahkan bahwa produk tembakau harus memiliki aturan turunan terpisah atau mandiri. Sebab bunyi pasal tersebut menggunakan frasa “diatur dengan” yang memiliki konsekuensi hukum berbeda dengan frasa “diatur dalam”.
Bunyi pasal 152 dimaksud adalah ayat (1) ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif, berupa produk tembakau, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada ayat (2) berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif, berupa rokok elektronik, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
”Berpijak pada dasar hukum tersebut, seharusnya aturan turunan Pasal 152 UU No. 17/2023 harus diatur dalam PP tersendiri, bukan digabung dalam satu PP yang mengatur banyak materi muatan,” ujar Ali kepada awak media, Minggu 8/10/2023 di Jakarta.
Menurut dia, secara umum frasa “diatur dengan” memiliki konsekuensi harus diatur dalam jenis Peraturan Perundang-Undangan (PUU) tersendiri, terpisah, dan mandiri dari muatan UU yang lain. Contohnya adalah Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang melahirkan UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu, penjelasan terhadap penggunaan frasa “diatur dengan” secara implisit dijelaskan pada angka 201 Lampiran II UU No. 12 tahun 2011 jo. UU No. 13 tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Begitu juga lanjut Ali, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Dalam putusan ini terdapat sejumlah pertimbangan hukum dari hakim konstitusi terkait fungsi dan konsekuensi penggunaan frasa “diatur dengan”. Pada intinya bermakna sama bahwa perlu diatur dengan aturan tersendiri.
Selain aspek hukum, Ali juga mempertimbangkan landasan sosiologis tentang sebaiknya peraturan produk tembakau keluar dari RPP Kesehatan. Sebab polemik ini menyasar banyak entitas dari hulu sampai hilir.
”Beberapa lingkup yang menjadi objek atau terdampak dari pengaturan tersebut antara lain sektor petani tembakau, sektor produsen tembakau, sektor industri periklanan, dan sektor ritel,” ungkapnya,
Ia juga memaparkan banyaknya sektor sekaligus tenaga kerja yang terdampak dari aturan ini. Melihat luasnya objek yang terdampak dari aturan tersebut, Ali menegaskan, menjadi logis jika pengaturannya diakomodir dalam satu peraturan pemerintah tersendiri sehingga akan lebih komprehensif dan koheren.
”Untuk melahirkan PP yang komprehensif tentu dibutuhkan waktu yang memadai dan tidak buru-buru yang seolah dikejar waktu atau jam tayang,” ujarnya.
RPP Kesehatan ini sambung Ali, juga dapat dinilai memberikan dampak negatif pada industri lain yang berhubungan dengan industri tembakau, seperti industri kreatif. Terlebih, di RPP Kesehatan tersebut, terdapat rencana larangan iklan, promosi, dan sponsorship di ruang publik, termasuk penyelenggaraan kegiatan pertunjukan seni budaya dan musik.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) Dino Hamid mengaku, khawatir dengan ketentuan yang termuat dalam RPP Kesehatan tersebut.
“Kalau sampai rokok benar-benar tidak diperbolehkan, ya, kami akan kehilangan salah satu produk yang mendukung industri kami,” ucap Dino.
Faktanya, kata Dino, industri tembakau selama ini merupakan pendukung utama di industri kreatif, terutama di bidang musik. Maka rencana larangan ini jelas akan berdampak signifikan. Padahal, industri kreatif ini baru saja mencoba bangkit pasca terdampak pandemi dan bahkan belum pulih sepenuhnya.
Di sisi lain, Presiden secara resmi mendorong kemajuan industri kreatif sejak akhir tahun 2022 karena merupakan bagian penting dari penopang perekonomian negara. (*Wari)