Mimbarrepublik.com, Jakarta- Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menyebut dua kasus terkait tahanan di Polsek Tanah Abang dan Polda Kalimantan Selatan menunjukkan masih terdapat kelemahan pengamanan dan perawatan terhadap tahanan.
Poengky kepada wartawan di Jakarta, Selasa 27/2/2024, ia mengatakan terkait kasus kabur-nya tahanan Polsek Tanah Abang, kepolisian harus melakukan evaluasi menyeluruh untuk menguatkan pengamanan tahanan.
“Terkait kasus kabur-nya tahanan Polsek Tanah Abang, Kompolnas menganggap masih terdapat kelemahan pengamanan tahanan,” ujarnya.
Sementara itu, terkait kasus penyiksaan yang diduga dilakukan petugas jaga tahanan Polda Kalimantan Selatan merupakan masalah pola pikir dan budaya yang belum tuntas perubahannya dalam melaksanakan reformasi kultural Polri.
Poengky menjelaskan dasar hukum penanganan tahanan kepolisian diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perawatan Tahanan dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang HAM. Kedua aturan tersebut menegaskan bahwa dalam menangani para tahanan yang ditahan di ruang tahanan kepolisian harus memanusiakan manusia (humanis) dan menghormati hak-hak asasi.
“Tetapi dalam perkembangan terakhir ada dua kasus berbeda terkait perawatan tahanan dan hak asasi manusia yang menjadi perhatian publik,” katanya.
Kedua kasus tersebut terjadi dalam kurun waktu 2024 ini, kabur-nya 16 tahanan Polsek Tanah Abang, dan penyiksaan terhadap enam tahanan Polda Kalimantan Selatan.
Menurut Poengky, perlu evaluasi menyeluruh untuk menguatkan agar kasus kabur-nya tahanan hingga Kapolsek dan Wakapolsek Tanah Abang dicopot dari jabatannya tidak terulang kembali.
Penguatan yang perlu dilakukan, yakni melaksanakan tugas sesuai Perkap Perawatan Tahanan dan Perkap HAM, termasuk di antaranya memperbanyak jumlah petugas jaga tahanan dan memastikan siaga selama bertugas, memastikan dilaksanakannya patroli rutin satu jam sekali, memeriksa secara serius barang-barang yang dibawa pembezuk atau barang-barang yang dibeli tahanan, melakukan razia barang-barangan tahanan untuk mengontrol tidak ada barang-barang berbahaya yang diselundupkan, dan sebagainya.
“Polri harus melakukan evaluasi dan memperkuat ruang tahanan, antara lain membangun ruang tahanan secara kokoh, meninggikan plafon dan ventilasi agar tidak mudah dibobol, melengkapi dengan alat pantau yang canggih berupa CCTV dan lampu penerangan yang cukup untuk dapat memastikan para tahanan dalam kondisi baik di ruang tahanan,” ujarnya.
Langkah berikutnya, selektif dalam melakukan penahanan agar tidak terjadi kelebihan daya tampung (jumlah tahanan tak sebanding dengan kapasitas ruangan) yang dapat berpotensi memunculkan masalah, seperti gesekan antarsesama tahanan atau tahanan kabur dan sebagainya.
“Pimpinan satuan wilayah (satwil) bertanggungjawab memastikan semua terlaksana dengan baik,” kata Poengky.
Sedangkan untuk kasus penganiayaan tahanan di Polda Kalimantan Selatan, saat melakukan interogasi kepada enam tahanan dan ditemukan ada narkoba dalam paket makanan yang dititipkan untuk tahanan,
Kata Poengky, ketelitian petugas jaga dalam menemukan adanya selundupan narkoba itu sudah bagus. Tetapi, disayangkan ketika hal tersebut ditindaklanjuti dengan penyiksaan agar membuat enam tahanan tersebut mengaku.
Padahal, lanjut dia, tindakan penyiksaan sudah dilarang oleh aturan Polri, serta aturan-aturan hukum nasional maupun internasional.
“Kompolnas mendukung proses pemeriksaan kepada anggota yang melakukan penyiksaan sekaligus melakukan proses hukum kepada tahanan yang memperoleh narkoba,” tuturnya.
Poengky menambahkan, seharusnya interogasi tidak perlu memaksa pengakuan pelaku. Anggota kepolisian harus menggunakan cara-cara profesional dengan dukungan scientific crime investigation.
“Kami berharap kasus ini dapat menjadi momentum berbenah untuk kembali melaksanakan reformasi kultural Polri secara sungguh-sungguh,” ujar Poengky. (*Nur)