Mimbarrepublik.com, Jakarta- Tahun 2023 adalah awal dari mimpi buruk bagi masa depan rakyat Indonesia! Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Desember 2022,
Menjadi “kado buruk” bagi rakyat Indonesia di awal tahun 2023. Terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini karena Pemerintah dan DPR gagal memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan perbaikan dalam dua tahun.
Kemudian justru memaksakan pemberlakuan Undang Undang Cipta Kerja melalui Perppu. Perppu Cipta Kerja adalah akal-akalan untuk memaksakan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 21 Maret 2023, mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang undang, yang kemudian menjadi Undang Undang Nomor 6 Tahun 2023, maka “mimpi buruk” itu semakin nyata.
Sebagai upaya untuk membatalkan Omnibus Law UU Cipta Kerja, ASPEK Indonesia bersama beberapa organisasi serikat pekerja juga mengajukan Permohonan Pengujian (Judicial Review) Undang Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang Undang.
Klimaksnya pada 2 Oktober 2023, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) sebagai Undang Undang tidak melanggar ketentuan pembentukan perundang-undangan.
Dampak buruk Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja, khususnya kluster Ketenagakerjaan, akan dirasakan oleh rakyat Indonesia untuk jangka waktu yang sangat panjang. UU Cipta Kerja telah membuat pekerja Indonesia semakin miskin, karena telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah dan juga jaminan sosial bagi pekerja Indonesia, dimana:
• Sistem kerja outsourcing diperluas tanpa pembatasan jenis pekerjaan yang jelas.
• Sistem kerja kontrak dapat dilakukan seumur hidup, tanpa kepastian status menjadi pekerja tetap.
• Sistem upah yang tetap murah, karena tidak secara tegas menetapkan upah minimum harus berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan hidup layak.
• Hilangnya ketentuan upah minimum sektoral provinsi dan kota/kabupaten.
• Dimudahkannya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan. Termasuk hilangnya ketentuan PHK harus melalui Penetapan Pengadilan.
• Berkurangnya kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) pesangon dan penghargaan masa kerja.
• Kemudahan masuknya tenaga kerja asing (TKA), bahkan untuk semua jenis pekerjaan yang sesungguhnya bisa dikerjakan oleh pekerja Indonesia.
Amanah konsitusi UUD 1945 sudah sangat terang benderang, antara lain Pasal 27 ayat 2 yang menyatakan, “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Namun yang terjadi hari ini adalah Pemerintah lebih memprioritaskan kesejahteraan bagi kelompok pemodal melalui Undang Undang Cipta Kerja.
Demikian disampaikan oleh Mirah Sumirat, SE dan Sabda Pranawa Djati, SH, selaku Presiden dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (DPP ASPEK Indonesia), dalam mengawali catatan Refleksi Akhir Tahun 2023 atas berbagai kebijakan Pemerintah dan kejadian di bidang ketenagakerjaan dan bidang lainnya, yang berdampak besar bagi masa depan rakyat Indonesia.
Dalam Refleksi Akhir Tahun 2023, Mirah Sumirat juga memberikan catatan penting terkait dengan jaminan perlindungan terhadap pekerja perempuan, termasuk terjadinya pelecehan seksual di lingkungan kerja.
ASPEK Indonesia mencatat beberapa kejadian, antara lain adanya pengaduan dan laporan dari karyawan PT Sarinah, kepada anggota Komisi VI DPR Andre Rosiade, yang mengaku dilarang menggunakan hijab saat bekerja. Informasi itu disampaikan terbuka oleh anggota DPR dalam rapat kerja dengan Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, Pada April 2023.
Sedangkan pada awal Mei 2023 Aspek Indonesia juga mengutuk keras tindakan oknum manajemen perusahaan di Cikarang, yang diduga memberikan syarat perpanjangan kontrak kepada tenaga kerjanya, dengan mengharuskan pekerja perempuan untuk berhubungan seks dengan atasannya agar dapat bertahan di perusahaan.
Tindakan pelecehan seksual yang juga menjadi perhatian Mirah Sumirat, adalah terkait kasus body-checking yang terjadi di ajang Miss Universe Indonesia 2023.
Mirah Sumirat yang juga merupakan Presiden Women Committee UNI Global Asia Pacific, menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh kepada para korban yang berani bicara dan mengungkapkan kasus pelecehan seksual yang telah mencoreng nama Indonesia di dunia internasional ini.
Keberanian para finalis Miss Universe Indonesia untuk bicara mengungkap kasus ini menjadi sangat penting, tidak saja agar kasus ini terungkap secara tuntas, tapi juga untuk mewakili suara jutaan wanita Indonesia yang tidak berani bersuara ketika mendapatkan perlakuan pelecehan seksual.
Selama tahun 2023, ASPEK Indonesia juga mencatat adanya badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan secara sepihak serta pelanggaran hak-hak normatif pekerja oleh berbagai perusahaan. Badai PHK dan pelanggaran hak-hak normatif pekerja terjadi sebagai dampak dari pemberlakuan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja.
Terkait penetapan Upah Minimum Tahun 2024, ASPEK Indonesia mendesak Pemerintah untuk tidak memaksakan penetapan upah minimum tahun 2024 hanya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
ASPEK Indonesia menuntut kenaikan upah minimum tahun 2024 sebesar 15%, dengan memperhitungkan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi dan juga hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang harus dilakukan oleh Dewan Pengupahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Kebutuhan Hidup Layak yang harus disurvei, minimal menggunakan 64 komponen KHL, didasarkan pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak.
Di penghujung tahun 2023, dunia ketenagakerjaan dikejutkan dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng). Ledakan tungku smelter milik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), telah mengakibatkan sedikitnya 13 orang meninggal dunia.
Kecelakaan kerja di lingkungan perusahaan PT ITSS ini adalah potret buram dari minimnya komitmen perusahaan di Indonesia dalam mengimplementasikan aturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Mirah Sumirat juga menyinggung soal lemahnya pengawasan terhadap penerapan K3 di Indonesia, sebagai dampak dari masuknya arus investasi yang terlalu dimudahkan oleh Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja, diperburuk lagi dengan Pengawasan yang lemah dan minimnya jumlah tenaga pengawas ketenagakerjaan, hal tersebut membuktikan bahwa persoalan klasik yang membelenggu kesejahteraan buruh, tidak pernah diselesaikan oleh Pemerintah.
ASPEK Indonesia menuntut Pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan untuk serius dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan, termasuk soal penerapan K3 di seluruh perusahaan di Indonesia.
“Saya berharap bahwa peristiwa ledakan tungku di PT ITSS adalah yang terakhir dan tidak terjadi di tempat lain,”pungkas Mirah. (*Red/chy)