Mimbarrepublik.com, Jakarta- Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar kembali menguji UU Pemilu terkait syarat usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meski sudah ada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023,
Pemohon tetap mengajukan pengujian formil ke MK setelah adanya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Menurut keduanya, syarat usia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada) bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 1 dan Ayat 3, Pasal 24 Ayat 1, serta Pasal 28D Ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Selain itu, Pemohon menilai, norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang telah dimaknai dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil karena bertentangan dengan UUD 1945 sekaligus Pasal 17 ayat (5) dan ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman.
Sebab, Pasal 17 ayat (5) dan ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan pada pokoknya setiap hakim termasuk hakim konstitusi harus mengundurkan diri dari mengadili sebuah perkara yang melibatkan kepentingan keluarganya, apabila tidak, maka putusan yang dihasilkan menjadi tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil.
“Bahwa Pasal 169 huruf q sebagaimana yang dimaknai dalam putusan 90 turut serta dihadiri oleh Yang Mulia Anwar Usman yang saat itu posisinya adalah paman dari Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak dari Presiden Joko Widodo.
Hubungan tersebut terjalin akibat yang bersangkutan menikah dengan adik presiden yaitu Ibu Idayati. Dan terbukti putusan 90/PUU-XXI/2023 juga dijadikan dasar oleh Gibran Rakabuming Raka, keponakan dari Yang Mulia Anwar Usman, mendaftarkan diri sebagai calon wakil presiden RI dalam Pemilu 2024.
Seharusnya Yang Mulia Anwar Usman mengundurkan diri dalam perkara tersebut,” ujar kuasa hukum pemohon, Muhamad Raziv Barokah dalam persidangan di MK, Selasa 28/11/2023.
“Apabila Anwar Usman taat etik dan hukum dengan mengundurkan diri dari perkara itu, maka putusannya akan berbeda karena komposisi hakim akan imbang,” imbuhnya.
Bahkan di kemudian hari, Anwar Usman diputus melanggar kode etik dan dicopot dari jabatannya sebagai ketua MK oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Raziv mengatakan, hal tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila laporan Denny Indrayana kepada MKMK pada 27 Agustus 2023 yang meminta pemeriksaan terhadap keikutsertaan Anwar Usman dalam mengadili perkara yang berpotensi adanya konflik kepentingan segera ditindaklanjuti sebelum keluar putusan nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam provisinya, pemohon meminta perkara ini diadili secara cepat tampa meminta keterangan DPR, presiden, serta pihak terkait guna mempercepat jalannya perkara sehingga tidak menimbulkan gejolak yang terus-menerus. Pemohon juga meminta perkara ini diperiksa, diadili, dan diputus dengan tidak melibatkan Anwar Usman.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Pemohon juga meminta MK menyatakan menangguhkan tindakan atau kebijakan yang berkaitan dengan ketentuan pasal tersebut.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihatnya mengatakan, Pemohon dapat menggunakan pendekatan atau paradigma hukum progresif daripada cara berpikir formalistik legalistik dalam permohonannya. Pengujian formil terhadap putusan MK ini,
Pemohon harus bisa membuktikan dan memberikan pemahaman yang kuat untuk meyakinkan para hakim dapat melakukan reinterprestasi terhadap ketentuan pasal yang diuji.
“Legal standing dan positanya sampai petitumnya harus dipikirkan dengan me-rewrite apa yang saya katakana kita berpikir out of the box, berpikir progresif menggunakan pendekatan eksponensial, karakter bentuknya, keberanian para hakim mungkin diajak untuk keluar dari ketentuan-ketentuan atau norma-norma atau pendekatan yang formalistik legalistik,” kata Arief.
Ketua MK Suhartoyo meminta Pemohon memberikan perbandingan data dengan Mahkamah Konstitusi di negara lain yang pernah melakukan kewenangan terkait hal yang diujikan oleh Pemohon, yakni menguji pasal yang sebelumnya sudah ditafsirkan oleh MK.
“Apakah negara lain punya tidak yurisprudensi sejenis bawa MK bisa masuk untuk menarik sebagian pengujian formil sekalipun berkaitan dengan norma undang-undang yang sudah diuji oleh badan peradilan? Yang kedua apa yang bisa kita rujuk perkara ini bisa masuk klister pengujian formil?” terang Suhartoyo.
Di penghujung persidangan, Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja bagi para Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan. Perbaikan permohonan selambatnya diterima oleh Kepaniteraan MK pada Rabu, 6 Desember 2023. (*Nur)