Mimbarrepublik.com, Jakarta- Prahara yang terjadi Mahkamah Konstitusi (MK) menciptakan ruang ketatanegaraan menjadi amburadul yang harus menjadi kritik dan pelajaran berharga. Wakil Ketua Komite I DPD Filep Wamafma menyayangkan prahara tersebut di tubuh MK hingga seorang ketua MK terbukti melakukan pelanggaran etik berat.
“Sampai hari ini menjadi nyata bagi publik, bahwa ada indikasi kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat tinggi telah dimanfaatkan secara tidak etis. Hal ini jelas menjadi ironi bagi dunia hukum kita, pembagian kekuasaan yang secara teoritis dipelajari di semua jurusan hukum dan politik, seolah-olah tidak berdaya implementatif di tangan penguasa. Alhasil, ruang ketatanegaraan menjadi amburadul, tentu ini menjadi kritik dan pelajaran berharga,” ujarnya kepada awak media di Jakarta, Sabtu 10/11/2023.
Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi tiang penjaga konstitusi negara telah tersandera kepentingan elit. Padahal hakim memiliki tugas penting dalam menjaga muruah hukum dan merawat masa depan hukum di Indonesia.
Filep pun mengapresiasi putusan MK yang secara tegas telah dilaksanakan dengan baik. Dia lantas mengingatkan pentingnya teori pemisahan kekuasaan trias politica dipegang teguh untuk menghindari absolutisme kekuasaan.
“Ide dasar Montesquieu sangatlah jelas, bahwa pemisahan kekuasaan harus dilakukan untuk membatasi kekuasaan itu sendiri dan menghindari absolutisme,” jelasnya.
Filep mengajak masyarakat tetap peduli dan sigap mengawal tegaknya konstitusi dan lembaga konstitusi yakni MK serta penegakan hukum di tanah air.
“Masyarakat kita semakin cerdas dan objektif menilai situasi dan dinamika yang terjadi. Tanggapan masyarakat banyak membanjiri ruang-ruang berekspresi seperti media sosial dan lain sebagainya yang pada ujungnya laporan masyarakat dan sejumlah komunitas mengantarkan putusan MKMK. Ini menjadi tanda partisipasi masyarakat berdampak signifikan pada jalannya penegakan hukum di negara kita,” tukasnya. (*Nur)