Mimbarrepublik.com, Jakarta- Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan membentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK). Lembaga yang dibentuk pada Senin (23/10/2023) silam itu, ditujukan untuk menindaklanjuti banyaknya laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi yang dipimpin oleh Anwar Usman. Salah satu pelanggaran yang banyak dilaporkan adalah putusan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden yang ramai disoroti oleh publik beberapa hari belakangan ini.
Merujuk Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, MKMK adalah perangkat yang dibentuk MK untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, dan martabat. Selain itu, MKMK dibentuk untuk menjaga Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Keanggotaan calon anggota MKMK berjumlah tiga orang yang berbeda. Komposisinya yaitu satu orang hakim konstitusi aktif (Wahiduddin Adams), satu tokoh masyarakat (Prof. Jimly Asshidiqie), dan satu akademisi yang memiliki latar belakang bidang hukum (Bintan Saragih). Keanggotaan tersebut bersifat tetap untuk masa jabatan tiga tahun atau bersifat ad hoc yang ditentukan melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Menanggapi itu, Anggota Komisi III DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal menilai penting untuk membentuk MKMK tersebut. Sebab, menurutnya, putusan MK bersifat final dan mengikat (binding).
“Bayangkan, dari ruangan (DPR) ini jumlahnya ada 575 anggota dewan yang membuat undang-undang, (lalu) hanya diputus (atau) dibatalkan oleh sembilan orang (hakim MK). Apalagi, kalau hakim MK tersebut sudah menyeleweng ke hal-hal substansi yang itu menjadi ranah pembentuk UU, bukan kewenangan MK,” ujar Cucun kepada awak media di Gedung Nusantara III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Politisi Fraksi PKB ini menegaskan, tidak masalah siapapun yang akan mengisi jabatan MKMK tersebut. Yang penting, harus seorang negarawan dan betul-betul bebas dari kepentingan. Selain itu, ia menilai perdebatan publik ini dikarenakan MK yang merupakan lembaga produk dari reformasi seharusnya bisa mengawal konstitusi.
“Perdebatan ini mungkin bukan karena penerjemahan sekelompok masyarakat, tetapi semua kelompok masyarakat (yang) melihat ada perubahan-perubahan sikap dan cara memutuskan. Seolah-olah keadilan dari kelompok masyarakat ini tidak didapatkan makanya penting membentuk Mahkamah Kehormatan ini,” ujar Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini. (*Nur)