Mimbarrepublik.com, Denhag- Di lansir dari kantor berita Reuters diperoleh informasi yang menyebutkan bahwa Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD serta Menteri Hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly bertemu dan berdialog dengan mantan Mahasiswa Ikatan Dinas dan korban pelanggaran HAM berat di luar negeri. Dialog digelar di Kedutaan Besar RI di Den Haag, Belanda, Minggu 27/8/2023 waktu setempat.
Di acara tersebut, Menkopolhukam menjelaskan tentang penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan kebuntuan selama ini tanpa menafikan proses yudisial.
Adapun tujuannya, lanjut Mahfud, yakni memberikan hak-hak konstitusional pada para korban. Para korban Peristiwa 1965 sebagian besar adalah eksil yang harus kehilangan kewarganegaraan akibat kebijakan orde baru. Mereka adalah warga negara Indonesia (WNI) yang ditugaskan pemerintah belajar di luar negeri.
Pasca pergolakan politik di Indonesia pada 1965, mereka tidak bisa pulang. Paspor mereka dicabut sehingga kehilangan kewarganegaraan dan sulit untuk kembali ke Indonesia.
“Saya bertemu sendiri dengan orang-orang yang pada awal tahun 60-an disekolahkan oleh Bung Karno (Soekarno) oleh negara, ketika pemerintahan berganti dan paspornya dicabut sampai sekarang. Kami datang untuk menawarkan hak-hak kewarganegaraan pada mereka. Hak politik sudah dilakukan, yang sisa sepuh-sepuh ada di sini kita coba dekati, anda punya hak dan hak itu boleh dipakai,” papar Mahfud.
Dalam pertemuan itu, Mahfud juga menyampaikan Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu,
Mahfud juga menjelaskan bahwa kebijakan tersebut, bermaksud memberi tekanan penyelesaian pada korban, bukan pada pelaku.
Mahfud pun mengungkapkan bahwa merespons hal itu, sejumlah korban menyampaikan beberapa keinginan antara lain bisa mendapatkan kewarganegaraan Indonesia kembali, pemerintah RI juga diminta melaksanakan pembaruan pelajaran HAM di sekolah sebab para eksil merasa masih ada stigmatisasi yang melekat pada mereka, misalnya saja yang disuarakan oleh Sri Tunruang, eksil yang bermukim di kota Aachen, Jerman.
Dia acara itu, juga terungkap bahwa selain itu, hal lain yang mereka minta dari pemerintah RI adalah pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Harapan saya penyelesaian masalah HAM berat bisa sesuai janji pemerintah ada usaha menyelesaikan pelanggaran HAM berat adil, independen dan tuntas. Tidak terikat pada pihak-pihak tertentu, titik berat kita pada kebenaran dan sumbernya pada pembeberan kebenaran,” ujar Sungkono, 84 beberapa waktu lalu, korban Peristiwa 65’ yang kini bermukim di Amsterdam, Belanda,
Di forum tersebut, Mahfud menyampaikan Peristiwa 65’terjadi pada masa Orde Baru yang mana, rezim saat itu sudah mendapat hukuman secara politik dengan digulingkan saat reformasi. Negara telah berupaya membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk pengungkapan kebenaran, namun akhirnya undang-undang terkait itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “(tahun) 2015 sudah dilakukan membuat penyelesaian tapi macetnya karena pada waktu itu ditolak keras usul permintaan maaf (dari negara).
“Setiap ada kata pemerintah harus minta maaf, kacau. Siapa yang meminta maaf, wong rezimnya sudah jatuh. Dihukum secara politik.Tetapi kalau menyatakan menyesal, menyesal kita,” terang Mahfud.
Mahfud tidak setuju dengan penulisan ulang sejarah menyangkut peristiwa 1965 yang mana banyak orang dituduh dituduh terlibat dalam Peristiwa G30-S/PKI.
Pemerintah, terang Mahfud, mempersilahkan dan menyediakan dana bagi pihak yang ingin menulis atau melakukan penelitian soal Peristiwa 65’ tetapi untuk ilmu pengetahuan dan mengajarkan fakta-fakta yang terjadi.
“Soal sejarah, saya tidak setuju dengan keinginan agar dilakukan penulisan ulang. Biar dipelajari sejarah sebagai ilmu. Pencarian kebenarannya tergantung yang menulis dan kapan penelitian itu dilakukan. Ilmu itu bukan kebijakan, kebijakannya tulis sejarah, kami biayai karena itu ilmu. Memperkaya khasanah bangsa kita ke depan,” papar Mahfud.
Sementara itu mengenai adanya Visa Khusus untuk Pulang Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengatakan pemerintah memberikan visa khusus bagi korban Peristiwa 65’ di luar negeri, untuk pulang ke Indonesia. Kemudahan itu, ujarnya, berupa visa multiple entry (izin masuk berkali-kali) ke Indonesia dalam waktu 60 hari diperpanjang. Selain itu, imbuh dia, pemerintah juga bisa memberikan izin tinggal terbatas (Itas) selama 5 tahun.
“Saya sebagai Menteri kalau Bapak-Ibu ingin kembali ke Indonesia, apakah sementara? Apakah mau beberapa waktu? Apakah 5 sampai 6 tahun? Kami akan memberikan fasilitas keimigrasian kepada Bapak-Ibu dengan PNBP 0,” tambah Yasonna.
PNPB atau penerimaan negara bukan pajak, para korban Peristiwa 65’ yang berada di luar negeri tidak dikenakan biaya untuk urusan keimigrasian apabila ingin ke Indonesia. Mengenai harapan sejumlah eksil yang berniat mendapatkan kembali kewarganegaraannya, Yasonna menjelaskan itu belum bisa dilakukan sejauh aturan perundang-undangannya belum direvisi. (*Red/Reuters)