Mimbarrepublik.com, Jakarta- Pembatalan gelaran Piala Dunia U-20 tahun 2023 di Indonesia oleh FIFA masih menjadi perbincangan hangat di jagat maya. Mulai dari tokoh politik hingga netizen ramai melontarkan opini menanggapi keputusan tersebut. Mereka yang setuju pembatalan mengaitkannya dengan kesiapan Indonesia dalam menggelar event sepak bola kelas dunia. Tragedi Kanjuruhan pada Oktober 2022 menjadi rujukannya. Mereka yang tak setuju mengaitkannya dengan standar ganda FIFA dan muatan politik global di balik itu.
Kalau melihat perjalanan ajang dua tahunan kejuaraan sepak bola FIFA kelompok umur di bawah 20 tahun ini, Indonesia bukan satu-satunya negara yang pernah gagal menjadi tuan rumah. Nigeria bahkan dua kali gagal (1991 dan 1995). Salah satu penyebabnya adalah skandal pemalsuan umur para pemain. Yugoslavia (1993) dipindahkan ke Australia karena perang saudara. Irak (2003) dibatalkan karena invasi Amerika Serikat yang berakibat perang Irak.
Jadi sepatutnya kegagalan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tidak perlu dibesar-besarkan. Malah semestinya mengamatinya dari sisi lain, yakni bagaimana mencermati sikap FIFA yang nota bene hanya EO (event organizer) sepak bola dunia, namun dapat mengeluarkan kebijakan yang sangat menentukan bagi perhelatan persepakbolaan dunia.
Ada beberapa hal yang patut disoroti dalam peristiwa ini dan saling kait-mengait. Pertama, tentang sikap politik luar negeri Indonesia. Indonesia menjalankan politik luar negeri bebas-aktif dengan landasan ideologi Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi. Salah satu implementasinya adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sementara Israel selama ini memiliki catatan kekerasan dan melakukan penjajahan terhadap Palestina sejak Juni 1967, juga mengusir sekitar 300 ribu warga Palestina dari rumah mereka.
Pendudukan militer Israel di Palestina tercatat sebagai pendudukan terlama dalam peradaban dunia modern. Dengan demikian penolakan terhadap kontingen sepak bola U-20 Israel oleh para politisi dan sebagian kalangan masyarakat Indonesia seperti mendapat legitimasi.
Kedua, FIFA bersikap standar ganda dalam menentukan siapa yang ikut dalam Piala Dunia maupun menjadi tuan rumah. Standar ganda Ini tampak dalam perlakuan yang berbeda antara Israel dengan Rusia. Pecinta sepak bola dunia pasti ingat bagaimana FIFA ‘mendepak’ Rusia dari perhelatan Piala Dunia 2022 di Qatar karena dianggap melakukan invasi dan kekerasan kemanusiaan atas Ukraina. Lalu, bagaimana dengan Israel yang telah bertahun-tahun melakukan kekerasan kemanusiaan terhadap Palestina.
Padahal para aktivis HAM internasional telah lama mendesak Washington untuk menekan Israel dan memberikan sanksi agar mengakhiri pelanggarannya di wilayah Palestina. Selain itu, dari kebijakan tersebut, FIFA telah bersikap ganda. Di satu sisi, tidak ingin sepak bola diganggu dengan urusan politik, tapi di sisi lain mereka sendiri berpolitik.
Ketiga, adanya indikasi kekuatan global yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi FIFA. Sebagai catatan, pada Desember 2022, sebanyak 87 negara di PBB mendukung resolusi penjatuhan sanksi terhadap Israel. Rusia dan Tiongkok mendukung resolusi tersebut. Kecuali Israel, Amerika Serikat, dan 24 negara lain termasuk Inggris dan Jerman yang bersikap menolak. Washington selalu melindungi Israel dari sanksi PBB dengan melakukan veto terhadap upaya PBB melakukan sanksi terhadap Israel.
Dengan fakta-fakta di atas, Negara harus lebih berani bersikap tegas dengan melakukan negosiasi dan mengecam standar ganda FIFA. Bahkan kalau memungkinkan, Indonesia harus bisa membuat Israel keluar dari Piala Dunia 2023.
Dalam menyikapi kondisi tersebut, agar jangan dibiasakan untuk saling menyalahkan sesama anak bangsa, dan mencari kambing hitam dari permasalahan tersebut, melainkan sebaiknya melakukan instroskpeksi diri maupun saatnya untuk mengevaluasi diri, dan menjadikan ini sebagai pelajaran sangat berharga. Tidak hanya buat para elite sepak bola yang gagal menjaga marwah sepak bola dari tangan-tangan berlumur kepentingan. Yang lebih penting, ini ialah pelajaran paling mahal untuk elite-elite politik yang kemarin tiba-tiba saja muncul bak pahlawan kesiangan, seolah-olah menjadi kelompok pembela kemerdekaan bangsa Palestina terdepan.
Sepahit apa pun, kiranya momentum ini harus dijadikan titik balik untuk memperbaiki persepakbolaan nasional pada semua lininya, bahkan menganggap itu sebagai mimpi buruk, sejak hari ini semestinya sepak bola Indonesia move on dan mulai looking forward, bahwa dunia belum berakhir hanya karena kita tidak jadi tuan rumah. Kalau Indonesia kreatif bikin kejuaraan sendiri tunjukan pada FIFA, kita juga bisa. Seperti halnya ketika Presiden Soekarno, pada akhir tahun 1962 menggagas Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces (GANEFO) sebagai tandingan Olimpiade.
Dengan adanya kejadian seperti Ini sepatutnya PSSI juga tak perlu berlama-lama membungkus isu tersebut dalam drama-drama cengeng demi menarik simpati publik. Percayalah, simpati tidak akan datang dengan cara-cara itu. Simpati akan muncul dengan sendirinya kalau federasi mampu dengan cepat membenahi iklim sepak bola nasional yang sudah sedemikian amburadul saat ini. kini sepatutnya bisa dialihkan untuk agenda-agenda lain yang tak kalah penting.
Sebutlah dua di antaranya, yaitu pembenahan liga pasca tragedi Kanjuruhan serta peningkatan prestasi tim nasional sepak bola, para pelatih semakin membina timnas sebaik mungkin agar menjadi pemain yang tangguh. Mimpi Piala Dunia boleh saja, tapi sebelum sampai kesana tunjukkan bahwa Indonesia bisa memenangkan kompetisi sepak bola di ASEAN maupun Asia.
Saat ini Indonesia masuk Piala Dunia U-20 pada 2023 hanya privilege bukan karena kehebatan para pemainnya. Catatan penting sebagai pertanyaan, andaikan kompetisi U-20 tetap dilaksanakan di Bali, apakah dengan privilege tersebut Indonesia benar- benar bisa menang?
Selain itu, perlu dicermati juga bahwa semestinya dunia olahraga, termasuk sepakbola yang bisa menjadi ajang diplomasi persahabatan, melainkan justru marwah itu tercemari oleh eksploitasi politik, bisnis maupun kepentingan lainnya, yang dipertontonkan oleh sikap standar ganda FIFA, sehingga berimplikasi pada munculnya kesemrawutan, kecurangan dan bahkan konflik yang merugikan semua pihak, jika situasi ini dipertahankan maka bidang mana lagi yang bisa menjadi ajang bagi terbentuknya persahabatan sejati, yang menjadi kewajiban bagi semua mahkluk di bumi ini untuk mewujudkan dan menjaganya. (*red)