Mimbarrepublik.com, Jakarta- Data Pemilih tidak memenuhi syarat (TMS) yang ditemukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) rentan disalahgunakan saat hari H pemungutan suara. Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta untuk menindaklanjuti temuan Bawaslu terkait delapan kategori pemilih TMS Bawaslu, demikian disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita kepada awak media, Rabu, 29 Maret 2023 di Jakarta.
“Data pemilih TMS muncul karena nihilnya dokumen atau syarat untuk mencoret data pemilih. Terhadap pemilih yang telah meninggal dunia, misalnya, petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) tidak otomatis mencoret karena tidak mendapati surat kematian atau bukti administratif lain untuk membuktikan pemilih tersebut sudah meninggal dunia,” ungkap Nurlia Dian Paramita.
Akhirnya, lanjut Mita, akurasi daftar pemilih yang menjadi masalah data selalu lebih tinggi dibandingkan kondisi sesungguhnya. Tentu hal ini berpotensi disalahgunakan dalam proses pemungutan suara, dengan menggunakan metode uji petik atas proses pencocokan dan penelitian (coklit) data 16,683 juta pemilih, Bawaslu menemukan 6,476 juta pemilih yang dinyatakan TMS. 5 juta lebih di antaranya masuk dalam kategori pemilih salah penempatan yang ditemukan di Lampung, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.
Mita juga mengatakan warga meninggal dunia yang masih tercatat sebagai pemilih berjumlah 868 ribu lebih. Angka itu ditemukan di Jawa Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Riau, dan Nusa Tenggara Timur.
Kategori pemilih TMS lainnya adalah pemilih yang tidak dikenali berjumlah 202.776, pemilih pindah domisili (145.660), pemilih di bawah umur (94.956), pemilih bukan penduduk setempat (78.365), pemilih yang prajurit TNI (11.457), dan pemilih yang anggota Polri (9.198).
Menurut Mita, permasalahan akurasi data sebenarnya harus dirunut dari awal, yakni penyandingan daftar penduduk potensial pemilihan umum (DP4) dari Kementerian Dalam Negeri dengan daftar pemilih tetap (DPT) pemilu terakhir.
“Seharusnya jika data yang dihasilkan KPU cukup akurat maka dapat membantu untuk memutakhirkan data pasca-Pemilu 2019,” tukas Mita.
JPPR pun melihat permasalahan seputar kinerja pantarlih relatif sama dari gelaran pemilu sebelumnya, misalnya sulit menemui warga dan menggunakan jasa joki saat melakukan coklit, dan meminta KPU untuk segera menindaklanjuti temuan Bawaslu tersebut.
“Dengan segera melakukan peninjauan kembali atas data yang sudah diplenokan beberapa minggu yang lalu,” ujar Mita.
Di sisi lain, ia berpendapat bahwa Bawaslu sebenarnya tidak perlu menunggu untuk merilis hasil temuan dalam bentuk kompilasi. Sebab, pengawas ad hoc di lapangan memiliki kewenangan untuk memberikan saran perbaikan langsung kepada pantarlih ataupun panitia pemungutan suara (PPS). (*chy)