Mimbarrepublik.com, Jakarta– Pada 15 Desember 2022 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui 39 Rancangan Undang-Undang Program Legislasi Nasional (RUU Prolegnas) pada tahun 2023. Terdapat beberapa RUU yang kemudian mengundang pro kontra di masyarakat, salah satunya adalah RUU Kesehatan yang mengusung konsep Omnibus Law.
RUU ini kemudian disahkan sebagai usulan inisiatif DPR pada 14 Februari 2023. Sejumlah organisasi kemasyarakatan bereaksi atas kehadiran RUU Omnibus Law Kesehatan ini karena menganggap terdapat sejumlah pasal yang bertentangan dengan tujuan hukum yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia (KND RI) selaku lembaga nonstruktural yang bersifat independen memberikan sejumlah catatan yang perlu di perhatikan dalam RUU ini. KND sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 131 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, yang memiliki tugas pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Demikian disampaikan Kikin Tarigan, Komisioner Komnas Disabilitas kepada awak media Senin, 20/3/2023 di Jakarta.
“Dari hasil kajian kami, kami menemukan sejumlah Pasal dalam RUU Kesehatan yang harus dikoreksi mengingat akan berimplikasi buruk dan berpotensi mengeleminir hak asasi penyandang disabilitas, salah satunya adalah Pasal 135. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945,” ungkap Kikin Tarigan.
Kikin juga mencermati, bahwa pasal 135 tersebut juga bertentangan dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang menjelaskan bahwa Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pekerjaan baik di lingkungan pemerintah, pemerintah daerah dan swasta dan memperoleh kesempatan yang sama dengan pekerja lainnya. Oleh karena itu, perlu ada alternatif lain dalam Pasal ini, yakni mengubah frase “harus” menjadi “dapat” sehingga pemeriksaan kesehatan yang dilakukan dalam rangka pengadaan pegawai di instansi ataupun perusahan tidak bersifat keharusan melainkan pilihan tergantung jenis kerja dan beban kerja yang akan dilakukan oleh penerima kerja.
“Sehingga pemberi kerja dapat menyesuaikan dengan jenis kerjanya, dengan catatan selagi dunia kerja yang digeluti tidak terkait dengan kedisabilitasannya maka tes kesehatan yang dilakukan cukup dijadikan sebagai rujukan untuk akomodasi yang layak,” tukas Kikin.
Dikarenakan, lanjut Kikin, RUU Kesehatan ini merupakan RUU yang sangat vital kedudukannya, maka, Komisi Nasional Disabilitas menilai terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sungguh-sungguh memperhatikan dan menyerap aspirasi dari masyarakat untuk dijadikan rujukan perubahan terutama pasal-pasal yang masih diskriminatif dan berpotensi mengeliminir hak penyandang disabilitas. Kedua, Melibatkan organisasi penyandang disabilitas, penggiat dan asosiasi profesi terkait disabilitas, orangtua anak dengan disabilitas, dan pihak-pihak lain yang konsentrasi terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabiltas.
Ketiga, draft yang diberikan kepada masyarakat terutama kepada penyandang disabilitas harus selaras dengan berbagai ragam dan spektrum disabilitas agar mudah dipahami. Kemudian yang terakhir, pihaknya mengkritisi di dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini masih menggunakan terminologi ‘cacat’ diantaranya di Pasal 1 poin 11, Pasal 42 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 138 ayat (3), Pasal 140 ayat (1), Pasal 171 ayat (1), Pasal 368 ayat (3), dan Pasal 459 ayat (2). Menurutnya, sebutan tersebut bertentangan dengan semangat Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang sebelumnya telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 .
“Istilah ‘cacat’ ini mengandung unsur yang merendahkan harkat dan martabat penyandang disabilitas dan istilah ini bertentangan model of human right yang mamandang bahwa istilah ‘cacat’ ini tidak berlaku lagi dikarenakan tidak berperspektif Hak Asasi Manusia,” pungkas Kikin Tarigan. (*chy)